BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Akademi Hukum dari Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH M Hum mengatakan, ‘fobia’ pemerintah terhadap radikalisme tidak punya alasan kuat, apalagi sampai menyudutkan Islam. Sangat disayangkan, hal-hal seperti ini juga muncul dari pola pikir pemerintah dalam memandang konsep radikalisme sehingga begitu subjektif.
Indonesia punya berbagai catatan sejarah tentang gerakan radikal dan berhasil menggulingkan sebuah rezim di masanya.
Hal ini diungkapkan Erdianto sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat bahwa radikalisme itu adalah sebuah pemikiran keras, belum masuk dalam tatanan tindakan. Namun, apa yang dirasakan saat ini, bentuk pemikiran seperti itu sudah membuat rezim kalang kabut.
“Radikal itu tindakan yang menyukai kekerasan dalam cara kita memandang perubahan. Revolusi itu juga radikal, dalam tatanan teori sama saja. Nah, apa yang terjadi di negara kita saat ini masih dalam tatanan radikalisme (pemikiran), dan itu hal yang biasa,” ungkapnya saat menjadi narasumber Webinar Nasional tentang ‘Polemik Perlibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme, di Pekanbaru, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Erdianto juga menanggapi terkait pernyataan-pernyataan kontroversi yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Fachrul Razi. Dimana pernyataan-pernyataan itu, menurutnya kurang tepat karena terlalu menyudutkan Islam.
Apalagi, ikut campur pemerintah dalam tatanan pemahaman ini sudah terlalu jauh. Salah satu bentuk tindakan pemerintah yang dianggap tidak logis, yakni kebijakan mensertifikasi ulama untuk menyaring paham radikalisme.
“Radikalisme itu cara pandang, sekali lagi saya tegaskan tidak bisa diidentikan dengan Islam. Karena cara pandang seperti ini di mana-mana, di kelompok manapun ada. Komunis, jauh lebih radikal dari sisi tindakan dan pemahaman. Revolusi juga tindakan yang radikal,” jelasnya.
Dia menilai, ikut campur pemerintah dalam tatanan paham yang mereka anggap radikal, justru tidak akan membuat ketentraman di tengah kehidupan bermasyarakat. Apa yang dilakukan pemerintah, malah sangat berpotensi memperkeruh suasana.
Dijelaskannya, dalam perjalan bangsa, Indonesia juga pernah punya catatan radikal dalam pergerakan hingga berhasil menggulingkan rezim. Misalnya di masa Soekarno, dan Soeharto, justru tindakan-tindakan radikal yang dibutuhkan.
“Jika kita melihat dari rentetan peristiwa sejarah yang pernah terjadi bangsa ini, tentu menimbang sejauh mana gerakan radikal itu dibutuhkan. Salah alamat kalau paham radikalisme itu pakai untuk menyudutkan Islam. Tapi adakah Islam yang radikal? memang ada,” sambungnya.
Erdianto melihat, bahwa sikap pemerintah dalam menyikapi paham radikalisme dan gerakan radikal, hanya sebatas sikap fobia semata.
Jika dilihat mengenai kelompok-kelompok Islam yang ‘dianggap menganut paham radikalisme’, namun pada kenyataannya hanya sebagian kecil dari mereka yang melakukan tindakan berbahaya.
“Kita tarik contoh, misalkan HTI yang bercita-cita ingin menjadikan negara islam. Toh, kalau hanya sebatas cita-cita, silahkan saja. Lagi pula akan sangat sulit menjadikan seluruh negara di dunia ini menganut sistem khilafah,” sambungnya.
Dia memberikan penjelasan, bahwa dalam perspektif hukum, pada prinsipnya tidak akan bisa mengatur cara berpikir seseorang atau kelompok. Meskipun dalam realitasnya ada kelompok-kelompok yang ingin melakukan perubahan secara cepat.
Menyudutkan Islam dengan tudingan bahwa mereka radikal adalah tindakan dengan pola pikir yang sempit. Sedang dalam kenyataannya ada banyak Ormas, partai politik, dan kelompok lainnya yang tidak membawa embel-embel Islam, juga melakukan tindakan-tindakan kekerasan.
“Apakah pemerintah pernah menyebut mereka itu radikal?” ungkapnya. (bpc2)