BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Kerancuan pendidikan Ilmu sejarah kerap terjadi di saat menulis ulang kejadian masa lalu yang selalu bersinggungan dengan rezim berkuasa. Seperti sejarah penemuan Bangsa Indian di Benua Amerika, misalnya. Penemu Benua Amerika adalah pelaut muslim, bukan Colombus.
Terbukti dari masyarakat Indian yang selalu memakai pakaian yang lebih mirip baju gamis ketimbang jaket kulit ala cowboy Amerika. Namun sejarah ini ditulis ulang, bahwa Colombus lah penemu benua ini.
Begitu juga penulisan sejarah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Benarkah Sriwijaya terletak di Propinsi Riau, dengan bukti Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar? Sampai sekarang masih di ruang perdebatan.
Atau yang paling rumit soal penulisan sejarah PKI di Indonesia., khususnya tahun 1965. Ketika Partai Komunis Indonesia pimpinan DN Aidit diberangus, sampai-sampai Presiden Soekarno terseret.
Tersebab falsafah Nasakom Soekarno yang cenderung berpihak pada PKI, sebagaimana PKI notabene partai pemenang Pemilu kala itu.
Faktanya, di era Presiden Soeharto, sejarah Soekarno pun seolah tenggelam oleh rezim Soeharto yang dianggap penyelamat Pancasila.
Dampak luar biasanya penulisan buku sejarah di sekolah pun ikut terpengaruh. Generasi 80 an dianggap familiar dengan kisah heroic rezim Orde baru menyelamatkan bangsa. Terlebih dengan diproduksinya Film epic G30/S/PKI oleh PPFN.
Semakin mengokohkan rezim Orde baru selama 32 tahun. Bahkan penulisan sejarah itu masih bertahan hingga generasi presiden SBY. Walau sempat ada dorongan perubahan pada masa kepemimpinan Presiden Gusdur dan Megawati.
Kata DR Musnar Daulay, pemerhati ilmu sejarah dari Universitasn Pahlawan Kampar, kini banyak orang suka sejarah, tetapi banyak juga yang tidak suka pelajaran Sejarah.
Kondisi ini berlaku bagi ia pribadi sebagai orang tua yang harus meladeni pertanyaan putrinya yang masih duduk di sekolah menengah.
Sering kali ia ‘menjerumuskan’ anaknya dengan jawaban keliru. Akhirnya si putri mengambil “langkah bijak” dengan jawaban mesin pencari Google.
Musnar akhirnya merasa bertahun-tahun belajar sejarah bukan jaminan nilai plus dalam mata pelajaran Sejarah.
Keramaian di media sosial terkait pernyataan publik tentang pelajaran sejarah sekadar kemampuan seseorang mengingat tanggal, nama, dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Dapat dikatakan banyak orang di Indonesia tidak paham sejarah!
Sebaliknya, jika pemahaman sejarah adalah kemampuan melihat pola dan proses perubahan, apresiasi terhadap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada masa lalu, serta kaitan antara pengalaman besar negerinya dengan pengalaman pribadi dan keluarga kecilnya, kebanyakan orang menyukai sejarah. Benarkah fakta ini?
Setidaknya ini dibuktikan ribuan orang yang turut menandatangani petisi penolakan penghapusan status wajib mata pelajaran sejarah di tingkat SMA.
Guru-guru Sejarah di Indonesia telah terbiasa dengan norma umum multitasking mengajar Olahraga pada pagi hari, dilanjutkan dengan Matematika, dan diakhiri dengan pelajaran Sejarah, ketika siswa sudah berpikir segera lari berhamburan keluar meninggalkan ruang kelas. Miris!
Begitu juga dengan siswa yang terbiasa melihat guru yang itu-itu saja di depan kelas meski dalam sehari mereka mengikuti beberapa mata pelajaran berbeda.
Apabila guru-guru sejarah merasa cemas dengan wacana penghapusan mata pelajaran sejarah, semuanya bisa dimaklumi. Pundi-pundi mereka, apalagi mereka yang menyandang status honorer, sangat ditentukan jumlah jam mereka mengajar.
“Wacana yang beredar menjadi ancaman yang menipiskan kantong mereka. Aroma ‘perjuangan kelas’ yang nyata tercium di luar kelas tempat guru mengajar. Setiap anak di Indonesia sudah terbiasa dengan norma umum yang berlaku di masyarakat, dan termasuk juga dunia pendidikan kalau menjadi orang sukses, kaya raya, dan berkuasa,” katanya.
“Meski ada ribuan kata berbunga, pada akhirnya tujuan orang tua mengirimkan anak-anak ke sekolah adalah untuk memenuhi harapan kelak anak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di tengah masyarakat,” ungkapnya.
“Dari puluhan mahasiswa yang sama-sama belajar di jurusan sejarah, hanya satu dua orang yang tetap bersinggungan dengan dunia sejarah. Selebihnya kembali pada norma umum menjadi pengusaha sukses, bankir, pialang saham, atau coba-coba usaha startup memanfaatkan setiap kesempatan yang didapat.”
“Semuanya kembali berjalan normal sesuai laku zaman kapitalisme digital sekarang ini. Ya, kenormalan adalah sesuatu yang kita sukai. Loyalitas kewargaan dan patriotisme adalah standar utama di dalam kasus ini.”, kata Musnar.
Wajar kata Musnar banyak yang melihat kebanggaan diri terpanggang dalam pragmatisme zaman. “Padahal, sejarah adalah satu-satunya pakaian yang melekat ketika kita becermin dan membandingkan diri dengan orang lain.
Ketika ini pun akhirnya hilang, lalu apa lagi yang bisa dibanggakan?”, tutup Daulay dengan nada tanya miris. (bpc2)