BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — BMKG telah mengeluarkan analisis cuaca bahwa pada akhir Juli-September 2020 Riau akan dihadapkan pada ‘ancaman’ Karhutla. Selain melakukan upaya pemadaman di lahan yang terbakar, salah satu metode pencegahan yakni dengan TMC. Lalu, apa itu TMC? dan bagaimana fungsinya untuk mencegah Karhutla?
TMC adalah Taknik Modifikasi Cuaca atau biasa dikenal dengan istilah hujan buatan. Hal ini merupakan metode untuk ‘mengakali’ agar curah hujan dari awan hujan yang terdapat di langit, lebih tinggi intensitasnya.
TMC juga dikenal dengan usaha campur tangan manusia dalam pengendalian sumber daya air di atmosfer, untuk menambah atau mengurangi curah hujan pada daerah tertentu. Hal ini berguna untuk meminimalkan bencana alam yang disebabkan iklim dengan memanfaatkan parameter cuaca. Dengan penjelasan ini tentunya sudah terjawab apa itu TMC.
Menurut Kepala Bagian Umum BB-TMC Jon Arifian, di Provinsi Riau, sepanjang 2020 sudah dilakukan 2 kali tindakan modifikasi cuaca. Dengan teknik modifikasi cuaca ini terjadi penambahan intensitas 23-36 persen curah hujan dari potensi hujan alami.
Fungsi TMC Terhadap Pencegahan Karhutla
Jon Arifian mengatakan, Karhutla kerap kali terjadi pada tanah gambut kering. Kondisi gambut yang kering akibat panas yang tinggi akan sangat mudah memicu kebakaran, karena struktur gambut adalah hasil dari pembusukan akar-akar tumbuhan di hutan.
“Standar ketinggian air di lahan gambut itu 40 cm. Jadi kalau turun di bawah itu maka sangat berpotensi terbakar,” jelasnya.
Nah, waktu yang tepat untuk melalaikan TMC memang menjelang peralihan musim dari hujan ke panas. Dijelaskannya, sebab pada waktu-waktu ini masih banyak awan hujan, sehingga tindakan modifikasi cuaca lebih mudah untuk dilakukan.
“Kalau kita lihat kondisi saat ini, sudah sangat baik untuk melakukan TMC di Riau,” sambungnya.
TMC akan berfungsi agar intensitas curah hujan lebih tinggi daripada hujan alami. Terutama di saat musim transisi, atau pada saat intensitas curah hujan sudah mulai menurun.
Dengan demikian hujan akan membahasi dan membuat gambut akan tetap basah. Hal ini bertujuan pada saat musim panas, tingkat ketinggian air di tanah gambut tetap berada pada posisi di atas 40 cm. Minimal air tertahan posisi di 40 cm.
“Dengan kondisi ini, maka dapat dipastikan gambut akan meminimalisir kemunculan titik api karena pada saat musim panaspun, gambut tetap dalam keadaan basah, minimal lembab,” ungkapnya.
“Ranting-ranting dan daun-daun sisa tumbuhan kering, juga akan tetap menyimpan air dalam kadar yang cukup tinggi sehingga membuatnya tidak mudah terbakar. Nah, dengan visibility yang tinggi, meminimalisir terjadinya Karhutla sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat,” kata Jon Arifian. (bpc2)