BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Alokasi anggaran pencegahan Covid-19 di Riau dinggap belum maksimal. Pemerintah daerah dinilai masih setengah hati dalam melakukan refokusing dan realokasi dari APBD Riau untuk pencegahan dan penangan virus corona.
“Meskipun semua daerah telah mengalokasikan anggaran tersebut, namun komitmen penyediaan anggaran daerah dan pelaksanaannya belum maksimal,” kata Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau Triono Hadi, saat dihubungi bertuahpos.com, Selasa, 29 September 2020.
Pemerintah daerah di Riau telah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 melalui proses refocusing kegiatan dan realokasi anggaran sebagaimana mandat aturan perundang-undangan.
Anggaran itu dialokasikan untuk membiayai penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan dampak ekonomi.
Berapa Anggaran yang dialokasikan
Mengutip data yang dikemukakan Fitra Riau, berdasarkan publikasi Kementerian Dalam Negeri, anggaran penanganan Covid-19 yang dialokasikan pemerintah se-Provinsi Riau sebesar Rp1,8 triliun, dimana rata-rata daerah mengalokasikan sebesar 7 persen dari total belanja daerah setelah penyesuaian.
Sedang di Pemprov Riau, telah mengalokasikan anggaran Rp474 miliar atau setara dengan 6% belanja daerah. Menurut Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau Ade Hartati, total anggaran hasil refokusing dan realokasi yang ditetapkan Pemprov Riau sebesar Rp481 miliar.
Di Indragiri Hulu, Rokan Hilir, Siak, Bengkalis, Rokan Hulu, dan Meranti mengalokasikan sekitar 6-8%. Hanya Kota Dumai yang merealokasi APBD untuk penanganan Covid-19 setara 14% belanja daerah atau sebesar Rp221 miliar.
Sementara kabupaten/kota lain hanya mengalokasikan anggaran Covid-19 kurang dari 5% yaitu Kampar, Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Kota Pekanbaru. Padahal daerah-daerah ini termasuk wilayah episentrum COVID-19 di Riau yang paling parah.
DAU Berpotensi Tertahan
“Kami melihat, minimnya realokasi anggaran berdampak pada keterbatasan kemampuan daerah dalam membiayai ketiga fokus penanganan Covid-19, khususnya JPS dan dampak ekonomi,” sambung Triono.
Tri melihat, kondisi itu terjadi pada Indragiri Hulu yang tidak mengalokasikan Jaring Pengaman Sosial (JPS), juga di Pelalawan dan Kota Pekanbaru yang tidak mengalokasikan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). “Sedangkan Provinsi Riau sendiri hanya mengalokasikan anggaran untuk PEN sebesar Rp25 miliar.
Konsekuensinya, Provinsi Riau dan seluruh Kabupaten/Kota di dalamnya mendapatkan sanksi penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) 35% sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2020.
Hal itu karena dianggap tidak mampu memenuhi prasyarat minimal untuk mengalokasikan anggaran Covid-19 setara 35% dari belanja barang/jasa dan belanja modal, serta mengalami keterlambatan dalam melaporkan hasil refocusing kepada pemerintah.
Analisis dan Perhitungan Fitra Riau
Tri menjelaskan, berdasarkan hitungan Fitra Riau, potensi anggaran yang dapat dialokasikan pemerintah daerah se-Riau untuk penanganan Covid-19 mencapai lebih dari Rp3,5 triliun.
“Angka ini didasarkan atas realokasi dari belanja pegawai, belanja barang/jasa, belanja modal dan sumber pendapatan yang ditetapkan untuk penanganan Covid-19,” katanya.
Dijelaskan, selain alokasi anggaran tidak maksimal, pelaksanaan anggaran juga mengalami persoalan. Dari Rp447 miliar dana Covid-19 yang dialokasikan oleh Provinsi Riau, sampai 31 Agustus 2020 baru terserap 48%.
Hingga saat ini alokasi anggaran untuk JPS masih belum terealisasi 100% yang seharusnya sudah dapat diterima masyarakat — akibat dari persoalan data, sedangkan untuk penanganan dampak ekonomi sama sekali belum terealisasi.
Sementara, lanjut Tri, realisasi anggaran di tingkat kabupaten tidak dapat diketahui secara jelas oleh publik alias gelap gulita.
Pengelolaan Dana Covid-19 di Riau Dinilai Tak Transparan
Berdasarkan hasil penelusuran Fitra Riau melalui saluran media informasi resmi pemerintah daerah, ditemukan bahwa tidak ada satupun daerah di Riau yang mempublikasikan informasi program, kegiatan, dan anggaran penanganan Covid-19 secara detail dan pro-aktif.
“Baik alokasi anggaran maupun realisasi anggaran, tidak ada yang disampaikan kepada publik melalui media informasi yang mereka miliki, nggak ada publikasinya,” ungkap Tri.
Sehingga publik tidak dapat mengetahui secara detail apa yang direncanakan oleh pemerintah daerah, serta sejauh mana dari rencana-rencana program, kegiatan, dan anggaran itu dilakukan hingga saat ini.
Tentu, temuan-temuan ini tidak serta merta untuk menuduh bahwa pemerintah daerah sama sekali tidak bekerja atau tidak melaksanakan upaya-upaya penanganan.
Upaya Penanganan dan Pencegahan Corona di Riau Belum Efektif
Sulit untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah daerah telah efektif dalam menangani wabah dari tiga aspek tersebut, termasuk untuk membuktikan akuntabilitas pengelolaan anggarannya.
Dia menegaskan, bahwa fakta menunjukkan informasi yang disampaikan kepada publik terkait program, kegiatan termasuk anggaran dalam penanganan Covid-19 — di provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota di Riau — sangat minim.
“Sementara itu, dapat kita saksikan bersama bagimana jumlah kasus semakin meningkat dan tingkat kematian juga mengalami peningkatan yang cukup drastis,” jelasnya.
Lemahnya Koordinasi antara Provinsi dengan Kabupaten/kota
Diberitakan bertuahpos.com sebelumnya Anggota Komisi V – DPRD Provinsi Riau Ade Hartati membeberkan, masih ada Rp25 miliar dari total alokasi anggaran untuk Covid-19 masih mengendap atau belum termanfaatkan.
Hal ini diungkapkannya dalam diskusi publik yang diselenggarakan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda se-Riau di Cafe Semut Hitam Jalan Yos Sudarso, Pekanbaru, Sabtu, 26 September 2020.
“Realisasi anggaran Covid-19 dari realokasi dan refokusing APBD Riau yang dialokasikan, salah satu peruntukannya pemulihan ekonomi sebesar Rp25 miliar dan anggaran itu ‘masih tidur’ atau belum dipakai sama sekali. Itu akibat koordinasi antara Pemprov Riau dengan kabupaten/kota, buruk,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, alokasi anggaran dari refocussing dan realokasi APBD Riau diperuntukkan untuk Covid-19 sebesar Rp481 miliar, untuk tiga kategori peruntukan. Yakni kesehatan dalam penanganan Covid-19, jejaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi daerah.
Per 31 Agustus 2020, dari total anggaran tersebut yang sudah terealisasi sekitar 48,75%. Ade Hartati juga menyoroti tidak adanya koordinasi antara Pemprov Riau dengan pemerintah kabupaten/kota tidak berjalan dengan baik.
Hal inilah yang dianggap menjadi pemicu penangan Covid-19 di Riau tidak berjalan dengan baik.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Pemprov Riau. Kesimpulan yang kami tarik bahwa Pemprov Riau tidak memiliki perencanaan yang jelas dalam penanganan Covid-19, terutama untuk tiga bulan kedepan, sesuai prediksi penyebaran corona di Riau,” ungkapnya.
Pemprov Riau Didesak Agar Transparan
Soal transparansi anggaran Covid-19 Riau dipertanyakan. Pemprov Riau diminta membuka data secara detil segala informasi dalam penanganan wabah corona kepada publik.
Fitra Riau menilai, bentuk transparansi yang harus dilakukan Pemprov Riau, termasuk menyuguhkan informasi mengenai alokasi anggaran yang sebelumnya sudah dialokasikan dari refokusing dan realokasi APBD Riau 2020.
“Kalau kita mengacu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sudah seharusnya pemerintah daerah menyampaikan seluruh informasi secara detail kepada masyarakat terkait dengan program dan anggaran penanganan Covid-19,” kata Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau.
Menurut Triono, transparansi yang dimaksud — jika merujuk pada Undang-Undang tersebut — mulai dari proses perencanaan sampai tahap realisasinya. Pemerintah Provinsi Riau, menurut dia perlu mengembangkan dashboard atau menu khusus anggaran penanganan Covid-19 di website resmi Pemda.
“Menyampaikan informasi kepada media massa tidaklah cukup, karena informasinya terlalu umum dan tidak jelas. Oleh sebab itu perlu ada platform khusus yang memuat informasi secara detail dan bisa diakses oleh publik secara luas,” ungkapnya.
Dia menambahkan, mempublikasikan informasi anggaran adalah kewajiban dan harus dilakukan pemerintah daerah.
Dengan membuka informasi, memberikan kemudahan kepada seluruh elemen publik untuk pengawasan, sehingga publik percaya bahwa pemerintah memang serius dalam penanganan wabah corona.
“Kita semua tahu bahwa pandemi ini tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Data menunjukkan peningkatan dan penyebarannya kasus semakin menggeliat,” ungkapnya.
Sementara, dijelaskannya, dari kesiapan dan langkah-langkah apa yang akan diambil oleh pemerintah daerah untuk penanganan — dari sisi kebijakan, program dan anggaran — sama sekali belum terlihat.
Peningkatan penyebaran Covid-19 ini dapat dipastikan akan berdampak terhadap kesiapan fasilitas dan sarana untuk menangani baik pada aspek kesehatan, dan juga penanganan pada aspek sosial dan ekonomi.
Menurut Triono, perubahan APBD tahun 2020 dan Rancangan APBD tahun 2021 dianggap momentum tepat untuk digunakan memastikan kesiapan daerah ke depan dalam menghadapi pandemi.
Dia menganggap pemerintah daerah masih sangat perlu untuk memfokuskan kebijakan program dan anggaran untuk penanganan Covid-19 di berbagai aspek pada tahun 2021.
“Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh pelit untuk mengalokasikan anggaran Covid-19, tentu saja dengan merumuskan strategi dan arah kebijakan yang jelas dan terukur,” jelasnya. (bpc2)