BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Pasukan dan pejuang Aceh sangat handal dalam perang gerilya. Mereka mampu tiba-tiba menyergap patroli Belanda, kemudian menghilang di hutan.
Tidak jarang, mereka menghilang dengan membawa rampasan dari Belanda. Kerugian Belanda menjadi berlipat-lipat, kehilangan pasukan dan kehilangan persenjatan.
Dikutip dari buku Nino Oktorino berjudul ‘Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh‘ (hal. 83-86), sebelum tahun 1890, Belanda tidak tidak bisa mengimbangi perang gerilya pejuang Aceh.
Sebuah saran dari Residen Ternate untuk mengirimkan pasukan bantuan yang terdiri dari pejuang Alfuru. Mereka ini terkenal sebagai pengayau (pemenggal kepala). Namun, usulan tersebut ditentang keras pejabat Belanda di Aceh.
Hingga akhirnya seorang Minang yang menjadi jaksa kepala di Kutaraja, Mohammad Syarif atau Arif memberikan usulan kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh, H.K.F. van Teijn.
Mohammad Arif mengusulkan agar Belanda membentuk suatu unit tempur infanteri yang memiliki mobilitas tinggi, personelnya berani mati, mampu bertempur dan berkelahi di jarak dekat, dan nekat.
Rupanya, usulan Mohammad Arif disetujui Gubernur van Teijn, dan membentuk sebuah pasukan yang diberi nama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korps Marsose Aceh dan Daerah Sekitarnya), atau lebih dikenal dengan pasukan Marsose.
Pasukan Marsose ini dibentuk secara resmi pada 2 April 1890. Pasukan ini diberi seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan. Di bagian leher, ada garis merah yang lebih tipis dari pasukan reguler Belanda.
Tingkat Pasukan Marsose adalah korps, yang dipimpin oleh seorang Kolonel. Hingga tahun 1904, Korps Marsose sudah memiliki 6 divisi yang tersebar di Aceh Besar.
Tiap divisi memmiliki 4 kompi, dengan komandan berpangkat Letnan Satu atau Letnan Dua. Setiap kompi memiliki 4 brigade, yang menjadi unit terkecil dalam Koprs Marsose.
Sebuah brigade memiliki 20 pasukan, dipimpin oleh seorang Sersan Eropa, dan seorang Kopral bumiputra. Pasukannya terdiri dari orang Belanda dan Eropa, Afrika, serta Jawa, Ambon, Manado, dan beberapa orang Timor.
Maka, pasukan Marsose merangsek mengejar pejuang Aceh hingga pedalaman, bahkan ke tempat-tempat terpencil. Mereka sanggup pergi ke hutan menumpas pejuang Aceh selama berbulan-bulan dan tak tergantung oleh logistik.
Berbeda dengan pasukan reguler Belanda, pasukan Marsose tak tergantung senjata api. Mereka handal menggunakan kelewang untuk menghabisi lawan di pertempuran jarak dekat.
Dengan segera, pasukan ini menjadi momok bagi pejuang Aceh. Apalagi, perwira-perwira Marsose seperti Van Daalen, Golijn, Schmidt, Van der Maaten, dan Christoffel begitu gigih mengejar pejuang Aceh, seperti tak terhalang oleh gunung, hutan lebat, dan rawa yang dalam. (bpc4)