Oleh: Melba Ferry Fadly
Selagi pembangunan masih berjalan, maka permintaan terhadap batu bata akan selalu ada, kata Yogi Yulfianto, seorang pengusaha batu bata di bilangan Tenayan Raya, Pekanbaru. Secara hitung-hitungan bisnis, apa yang disebut Yogi, makes sanse alias masuk akal.
Terlebih, pemerintah tengah gencar-gencarnya dalam pembiayaan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut data yang keluarkan oleh Kementerian PUPR per 7 Juli 2023, realisasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai 103.749 unit atau sekitar 47,15 persen dari target tahun ini, yaitu 220.000 unit dengan nilai Rp25,18 triliun.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Riau, sepanjang tahun 2022, realisasi pembangunan perumahan bersubsidi secara nasional mencapai 211.896 unit, dengan nilai kredit KPR FLPP yang disalurkan senilai Rp23,5 triliun.
Untuk di wilayah Provinsi Riau, angka realisasinya sebesar 7.622 unit, dengan nilai kredit yang disalurkan KPR FLPP mencapai Rp797 miliar.
Yogi, satu dari sekian pebisnis batu bata di Pekanbaru yang memanfaatkan peluang ini. “Kalau batu bata, pasarnya stabil. Naik nggak tinggi kali, kalau jatuh juga nggak terlalu anjlok. Cerita nggak laku itu nggak ada,” katanya saat berbincang dengan Bertuahpos.com beberapa waktu lalu.
Selagi sektor pembangunan tetap berjalan, maka bisnis batu bata, khususnya di Riau, diyakini akan tetap tumbuh dan berkembang. Terbukti, bahkan di saat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia selama tiga tahun. Di saat-saat seperti ini, kata dia, harga batu bata bahkan kian top cer.
Yogi menyebut, proses pembuatan batu bata di tempatnya tak ada yang berbeda dengan produksi batu bata pada umumnya. Rata-rata para pengusaha batu bata di kawasan ini tidak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.
Pabrikan yang memproduksi batu bata, biasanya akan memesan bahan baku kepada penyuplai kenalan mereka. Kualitas tanah, akan menyesuaikan dengan harga. Jika pun lebih mahal, jumlah produksi tetap bisa memberikan keuntungan.
Untuk satu truk tanah kuning kualitas bagus harganya Rp130.000 dan mampu menghasilkan sebanyak 4.000 buah bata mentah.
Setelah tanah disuplai ke tempat produksi, para pekerja akan melakukan proses cetak sesuai target yang ditetapkan. Adapun jumlah batu bata mentah yang dihasilkan, akan disesuaikan dengan kapasitas tampungan bedeng.
Yogi menjelaskan, untuk kapasitas tampungan bedeng sekitar 80.000 bata, membutuhkan waktu sekitar seminggu, dengan rata-rata perhari 10 hingga 12 ribu bata mentah siap cetak. “Lebih kurang seminggu lebih lah untuk proses cetak batu bata saja,” tuturnya.
Setelah dicetak, bata mentah yang masih basah ditiris dan dikeringkan di dalam bedeng. Proses ini membutuhkan waktu sekitar dua mingguan. Lalu, tahap selanjutnya, bata mentah yang sudah kering akan diproses di tungku pembakaran selama empat hari tiga malam dengan api menyala.
Artinya, jika dihitung dari awal proses cetak hingga siap dipasarkan, membutuhkan waktu sekitar tiga mingguan, jika tidak di musim hujan.
“Non stop, apinya nggak boleh padam. Lalu didinginkan kurang lebih tiga hari. Setelah itu, bata jadi sudah siap dipasarkan. Biasanya tiga sampai empat hari, sudah habis terjual,” katanya.
“Enaknya bisnis bisnis batu bata di Pekanbaru ini, stabil. Karena pasarnya selalu ada. Paling lama seminggu, itu sudah pasti habis terjual,” sambungnya.
Di tempat Yogi, kapasitas tunggu untuk sekali bakar sanggup menampung 70.000 hingga 75.000 bata. Sejauh ini, memang tak ada kendala berarti yang dihadapi oleh para pengusaha batu bata di kawasan Tenayan Raya, Pekanbaru.
“Kendalanya paling hujan, karena kondisi jalannya masih tanah berkerikil. Jadi kalau hujan agak lengket. Tapi sejauh ini masih bisa ditangani. Kalau cuaca bagus, lancar-lancar aja ,” sebutnya.
“Saat Covid-19 aja, bisnis batu bata nggak ada yang mogok. Sedangkan usaha lain banyak yang gulung tikar. Justru harganya mahal,” sambungnya.
Adapun untuk harga satuan batu bata di tingkat pabrikan yakni Rp300 hingga Rp310. Paling rendah di harga Rp280. Sedangkan untuk pola penjualannya bervariasi, ada yang dijual langsung ke konsumen, atau lewat pengepul. Oleh sebab itu, stok batu bata selalu habis terjual.
Rata-rata omzet penjualan yang didapat Yogi untuk sekali produksi batu bata, mencapai Rp21 juta untuk sekali produksi. Strateginya, produksi batu bata tak boleh putus agar tidak memutar modal baru.
“Jadi kalau produksi itu saling berkesinambungan. Misal, 75.000 bata masuk tungku. Sambil menunggu batu bata masak sekitar tiga hari itu, kita sudah bisa cetak 30.000 bata mentah. Jadi tungku itu berhenti bakar paling empat sampai lima hari,” tutur Yogi.