BERTUAHPOS.COM — Bangladesh tengah mengalami krisis kelangkaan listrik yang berkelanjutan.
Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya pemadaman listrik massal (blackout), meskipun pemerintah telah melakukan pembayaran sebagian tagihan kepada perusahaan listrik asal India yang sebelumnya sempat mengurangi pasokannya ke Bangladesh akibat tunggakan yang belum terbayar.
Adani Power Ltd., salah satu pemasok utama listrik Bangladesh dari India, baru saja menerima surat kredit (letter of credit/L/C) senilai USD 170 juta.
Menurut dua pejabat yang enggan disebutkan namanya, L/C ini sedikit meredakan tekanan dari kreditur Adani. Namun, pembayaran sebagian tagihan ini belum sepenuhnya menyelesaikan krisis.
Untuk sementara waktu, Adani Power tidak akan menghentikan pasokan listriknya ke Bangladesh, sambil menunggu hasil pembicaraan lebih lanjut dengan kreditur pembangkit listrik termal Godda di Jharkhand, India.
Gubernur Bank Bangladesh, Ahsan H Mansur, mengatakan bahwa pembayaran ini seharusnya telah dilakukan sejak awal.
“Bank sentral telah mengeluarkan instruksi untuk pembayaran pada awal minggu ini,” ujarnya dalam wawancara pada hari Jumat.
Pasokan listrik dari pembangkit listrik Godda, yang menyumbang sekitar 10% dari total pasokan listrik Bangladesh, mengalami penurunan hingga sekitar 500 megawatt (MW) pada hari Kamis.
Sebelumnya, pasokan telah berkurang setengahnya menjadi 700 MW, menurut data dari Power Grid Bangladesh.
Adani Power, perusahaan milik miliarder India Gautam Adani, memangkas pasokan listriknya ke Bangladesh setelah negara tersebut terlambat membayar tagihan sebesar USD 850 juta.
Pengurangan pasokan listrik ini diperkirakan dapat menimbulkan ketidakpuasan publik, terutama karena Bangladesh sedang menghadapi krisis keuangan serius.
Krisis listrik ini semakin memperberat beban pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Muhammad Yunus, setelah protes besar-besaran di awal tahun berhasil menumbangkan pemerintahan Sheikh Hasina.
Pemerintahan Yunus kini harus mengatasi berbagai masalah tunggakan finansial yang mencapai miliaran dolar di tengah ketidakstabilan politik dan ekonomi.***