BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ekonom Dahlan Tampubolon menanggapi soal rencana BBM jenis premium dan pertalite yang rencananya akan dihapus pemerintah. Menurutnya kebijakan-kebijakan seperti ini berpotensi menimbulkan masalah baru, di tangah kondisi ekonomi masyarakat yang diharapkan pada situasi sulit.
Masalah inu bermuara pada regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui Permen LHK 20/2017, mengharuskan BBM oktan rendah dan tidak ramah lingkungan, dihapus dari Indonesia.
Tak lain bahan bakar berstandar Euro 2; Premium (RON 88) dan Pertalite (RON 90), serta Solar (CN 48). Nah, Juni lalu Menteri BUMN justru merestui pengurangan produk BBM.
Pertamina pun terus berencana memangkas produksi bahkan menghapus bahan bakar minyak (BBM) beroktan rendah. Saat ini masih ada dua jenis BBM yang RON-nya masih di bawah 91, yaitu Premium dengan RON 88 dan Pertalite dengan RON 90. Namun Pertamina menegaskan Premium-Pertalite tetap dijual.
“Kelihatan sekali pernyataan ini menegaskan maju mundur pemerintah saat memangkas BBM kualitas bawah,” ungkapnya kepada Bertuahpos.com.
Padahal, menurut data Pertamina, kedua jenis BBM ini memiliki porsi konsumsi paling besar. Misalnya saja data 22 Agustus 2020, penjualan Premium mencapai 24 ribu kilo liter (KL) dan Pertalite sebesar 51,5 ribu KL.
Sedangkan penjualan BBM dengan RON di atas 91 (Pertamax) dengan RON 92 sebesar 10 ribu KL dan Pertamax Turbo dengan RON 98 sebesar 700 KL.
Menurut Dahlan, seiring rencana pengurangan BBM oktan rendah (bersubsidi), tentu meresahkan masyarakat. Belum lagi memikirkan biaya hidup terdampak pandemi. Kenyataannya selama ini masyarakat telah mengurangi konsumsi BBM oktan 88 (premium) ke BBM yang lebih tinggi oktannya (pertalite).
Masyarakat masih mengamini. Tak beda ketika masyarakat beralih dari kerosen ke elpiji. Namun, di saat masyarakat sudah terbiasa mengkonsumsi pertalite, malah ada rencana pengurangan atau malah penghapusan. Padahal pertalite disebutkan bukan BBM bersubsidi, tidak seperti premium.
“Itulah,… di Riau sendiri, sangat jarang ditemui SPBU menyediakan BBM Pertamax (oktan 92), tentu semakin meresahkan kalau harus beralih ke pertamax plus (oktan 95). Apalagi kalau harus mengkonsumsi BBM standar EURO 4 seperti pertamax turbo,” tambah doktor jebolan Urban Study Universitas Malaya ini.
Makanya, kata Dahlan, seringkali di penghujung tahun masyarakat kesulitan mencari BBM subsidi, kalau pun ada harus mengantri panjang.
“Apalagi kalau nanti ada pengurangan produksi dan pembatasan konsumsi, tentu akan menjadi persoalan baru. Di atas minyak, di bawah minyak, tapi susah betul mencari minyak,” ungkapnya. (bpc5)