BERTUAHPOS.COM — Kewaspadaan menghadapi krisis global memicu naiknya harga pangan dan inflasi. Hal ini akibat terganggunya rantai pasok sehingga melonjaknya harga pangan dan energi.
Namun ancaman yang lebih serius itu bukan resesi, tapi stagflasi—kondisi dimana pertumbuhan stagnan atau tidak bergerak, sedangkan inflasi terus menanjak tinggi. “Dampak buruk stagflasi terhadap perekonomian yaitu terus meningkatnya angka pengangguran,” kata Pakar Kebijakan Publik dari Narasi Institut Achmad Nur Hidayat seperti dikutip dari Koran Jakarta, Kamis, 15 Juli 2022.
Dia mengatakan, stagflasi yang kini menjadi ancaman ekonomi Indonesia, semata-mata bukan cuma karena faktor eksternal. Tapi, juga faktor internal, seperti pengambilan kebijakan negara yang ‘ditunggangi oleh penumpang gelap’. Dampaknya rakyat makin sengsara, elite semakin kaya.
Jika mundur ke era reformasi, misalnya, saat krisis melanda justru muncul megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekap. “Rakyat menderita karena krisis, tapi elite malah fund rising (menggalang dana) yang menyengsarakan rakyat hingga hari ini,” terangnya.
“Hal seperti itu terus terjadi hingga hari ini, seperti pada kasus minyak goreng, Bansos dikorup, dibiarkannya Garuda hancur dan swasta makin menguasai, impor makin besar, utang makin banyak,” kata Achmad.
Di sisi lain, konglomerat yang kerap dibanggakan lebih banyak bergerak dalam industri yang berbasis impor sehingga membuat Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan.
Sejak 2014, Indonesia mengalami deindustrialisasi karena terlalu mengandalkan impor yang berakibat pada rentannya mata uang rupiah pada gejolak dunia karena di saat yang sama utang negara dan swasta dalam valuta asing sangat besar.
“Saat harga pangan dan energi naik bersamaan seperti sekarang, rupiah melemah, sehingga dua kali menderita,” katanya.
Soal deindustrialisasi tentu menambah masalah, karena di saat sulit ancaman stagflasi membuat pekerjaan rumah, penyerapan pengangguran dan upaya menaikkan daya beli masyarakat makin akan semakin sulit.
Achmad melihat itu dari kasus minyak goreng yang ada banyak keanehan, BUMN enggan menugaskan salah satu perusahaannya untuk ikut mengurus pengolahan minyak goreng.
Di industri penerbangan juga begitu, Garuda seperti dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri. Bahwa mungkin benar ada masalah yang ditimbulkan oleh direksi Garuda di masa lalu, “tapi solusinya bukan berarti harus dimatikan,” jelasnya.***