BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Direktur Eksekutif Scale Up M Rawa El Amady mengungkapkan konflik sumber daya alam di Riau sudah terjadi sejak lama. Terbanyak, memang konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat yang lebih dulu mendiami sebuah kawasan tertentu.
“Memang ada beberapa hal yang melatar belakangi konflik sumber daya alam, khususnya di Riau. Salah satunya, ya memang kultur sebuah perusahaan kelapa sawit itu dibangun Belanda pada tahun 1900-an di Sumatera Utara, yang identik dengan bertindak sewenang – wenang,” tuturnya kepada Bertuahpos.com, Jumat, 25 Juni 2021.
Rawa menyebut, pada zaman penjajah Belanda kultur yang melanggar norma – norma etik, telah dilanggar bahkan cenderung mengabaikan prinsip – prinsip dasar kemanusian. “Nah kultur itu berpengaruh banyak terhadap kultur perusahaan sawit sekarang, termasuk BUMN,” ungkapnya.
Faktor penyebab lain yang membuat Riau selalu bermasalah terhadap konflik sumber daya alam, kata Rawa, yakni adanya pertentangan hukum negara dengan hukum adat. Bahkan sampai hari ini, masih banyak dijumpai sebidang tanah memiliki 2 dasar hukum.
“Kalau kita lihat hukum adat yang berlaku di masyarakat, rakyat selalu memakai itu sebagai dasar mereka memiliki sebuah kawasan. Sedangkan negara negara dan BUMN menggunakan hukum negara. Masalahnya, hukum adat juga diakui oleh negara. Dalam konteks ini negara yang melanggar jika terbukti itu hal adat,” terangnya.
Dia menambahkan, faktor lain yang juga menjadi pemicu munculnya konflik, yakni dalam tahapan penetapan lahan negara. “Jika dilihat dari kasus penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PTPN V terhadap masyarakat di Pantai Raja, Kampar Kiri, PTPN V abai menerapkan prosesor FPIC sehingga hak-hak rakyat ‘terbakar’,” kata Rawa.
“Sebenarnya, hal – hal seperti ini tak lebih dari arogansi pemerintah dan BUMN Sawit yang sewenang-wenang mengambil tanah rakyat. Tahun lalu (2020) ada 2 kasus konflik sumber daya alam yang terjadi di Riau,” urainya. (bpc2)