BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jikalahari mendesak Presiden Joko Widodo bukan hanya sekedar menanam mangrove di Kabupaten Bengkalis. Presiden juga harus memastikan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove di Bengkalis berjalan efektif.
Dalam hal restorasi mangrove, Presiden menghentikan alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak udang, serta memastikan realisasi kerjasama Pemkab Bengkalis dengan BRGM untuk menghentikan abrasi. Sebab, khusus di Pulau Bengkalis, abrasi mencapai 10 – 15 meter per tahun akibat mangrove ditebang untuk panglong arang dan tambak udang oleh cukong.
“Jokowi juga harus menghentikan kerusakan mangrove oleh cukong, karena mengancam batas Negara antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka,” kata Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo.
Hutan mangrove juga rusak disebabkan oleh korupsi jual beli hutan mangrove. Pada 23 Agustus 2021, Polres Bengkalis menetapkan 3 tersangka dalam perkara jual beli 33 ha hutan mangrove di Dusun Parit Lapis Desa Kembung Luar. Satu orang tersangka ditetapkan pembeli lahan yang akan digunakan untuk tambak udang berinisial AC.
Hutan mangrove ini dijual pada 2020 oleh 18 warga desa dengan harga Rp17 juta per hektar. Saat ini lahan tersebut sudah digarap dan dalam proses penyemaian udang.
“Jokowi juga harus mengintruksikan Pemkab Bengkalis untuk tidak menambah investasi tambak udang, karena mengancam dan merusak hutan mangrove tersisa di Bengkalis,” kata Okto.
Pada 22 April 2021, Wakil Bupati Bengkalis, Bagus Santoso menerima kunjungan sejumlah pengusaha tambak udang di Bengkalis. Saat menerima kunjungan, Bagus menyampaikan, “Investor yang ingin memberikan kontribusi untuk masyarakat Bengkalis adalah suatu anugerah yang harus difasilitasi dan disambut baik, kita akan coba rumuskan peraturan bupati yang mempermudah investasi budidaya ikan atau udang.”
Pernyataan Bagus Santoso bertentangan dengan MoU antara Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dengan Bupati Bengkalis pada 23 April 2021 perihal melaksanakan restorasi gambut dan mangrove serta menangani abrasi di sekitar Bengkalis dan Rupat dengan anggaran Rp400 miliar.
Selain kerusakan mangrove, Jokowi juga perlu mempercepat realisasi perhutanan sosial di eks HTI PT. Rimba Rokan Lestari yang telah dialokasikan oleh KLHK untuk perhutanan sosial sebagai upaya untuk restorasi gambut, yang saat ini rusak akibat aktifitas PT RRL dan perambahan oleh cukong untuk ditanami sawit.
“Anehnya, Gubernur Riau melakukan kerjasama dengan PT Bumi Laksamana Jaya (BLJ) untuk menanam akasia dan geronggang. Temuan kami PT BLJ terlibat korupsi,” kata Okto.
Temuan Jikalahari, PT BLJ terlibat korupsi dana penyertaan modal Pemkab Bengkalis ke BUMD yang merugikan negara senilai Rp 265 miliar. Kasus ini menyeret mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh yang dihukum penjara 6 tahun.
“Bukan hanya terlibat korupsi, PT BLJ juga tidak punya pengalaman dalam usaha kehutanan dan lingkungan hidup,” kata Okto.
Pada 22 Oktober 2020, Dinas LHK Provinsi Riau menandatangangi perjanjian kemitraan Kerja sama Nomor: 525/PPH/3099 dan Kerja sama Nomor:525/PPH/3101 dengan PT Bumi Laksamana Jaya (PT BLJ).
Kerjasama ini bertentangan dengan P.49/Menlhk/Setjen/Kum.1/9/2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada KPH dan PP 57 Tahun 2016 Jo PP 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Jauh sebelum kerjasama antara DLHK Riau dengan PT BLJ, Aliansi Masyarakat Menolak PT RRL sejak 2015 mendesak pemerintah mencabut PT RRL karena berada di atas pemukiman dan lahan pertanian masyarakat di 19 desa di Kecamatan Bantan dan Bengkalis yang dihuni lebih dari 28 ribu jiwa, bahkan Desa Bantan Sari dan Desa Bantan Timur telah mengusulkan izin perhutanan sosial sejak Desember 2018 dan telah diverifikasi teknis pada Desember 2019.
“Presiden Jokowi segera mengintruksikan Gubernur Riau untuk membatalkan kerjasama antara DLHK Riau dengan PT BLJ dan Menteri LHK untuk menerbitkan izin perhutanan sosial di areal eks PT RRL untuk mensejahterakan masyarakat di tengah pandemik Covid -19 dan,” kata Okto.
Untuk menyelamatkan Pulau Bengkalis, Presiden Jokowi harus mengefektifkan kerja-kerja upaya restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. “Sebab selama 9 bulan ini, kerja-kerja BRGM belum efektif dan masih kurang partisipatif, sehingga upaya restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove belum maksimal,” kata Okto. (bpc2)