BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jikalahari menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terburu-buru dan terkesan mengabaikan partisipasi publik secara maksimal dan bermakna dalam penyusunan rencana peraturan OJK berkaitan dengan perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Pada 6 Juni 2023, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan OJK akan segera meluncurkan Peraturan OJK (POJK) terkait bursa karbon dalam waktu dekat.
Saat ini pihaknya sedang menunggu undangan konsultasi dari Komisi XI DPR RI sebelum aturan tersebut ditetapkan. Saat ini kami tengah menyiapkan POJK dan sedang menunggu undangan Komisi XI DPR RI untuk berkonsultasi.
Pasal 26 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan berbunyi: ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. (2) Dalam rangka penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian dan atau lembaga berwenang lain terkait.
Dalam penjelasan Lembaga terkait kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Apakah OJK telah berkoordinasi dengan KLHK berkaitan dengan bursa karbon? Selain itu sudahkah rancangan peraturan OJK dikonsultasikan pada publik? OJK perlu memperhatikan peraturan terbaru berkaitan dengan partisipasi publik secara maksimal dan bermakna paska putusan MK,” kata Made Ali.
Selain POJK tentang bursa karbon, OJK bersama Bank Indonesia menerbitkan peraturan tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan (Pasal 222) dan Taksonomi Berkelanjutan diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 223). Tiga peraturan ini ditetapkan paling lama 2 tahun sejak UU P2SK diundangkan (Pasal 339). Ketiga peraturan ini wajib melibatkan publik.
Merujuk pada putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 dan Undang Undang No 13 tahun 2002 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, 3 prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna: hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Lalu, pada 16 Juni 2002 merujuk pada putusan MK di atas, terbit UU No 13 tahun 2022. Salah satunya memperjelas definisi “asas keterbukaan” yang bermakna; pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan, dalam pembentukan peraturan perundang undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).
Merujuk pasal 96 ayat 1, 2 dan 3 UU No 13 tahun 2003 yang berbunyi: (1) Masyarakat berhak perundang-undangan. (2) Pemberian masukan masyarakat dilakukan secara daring atau luring. (3) Masyarakat merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “sekelompok orang” adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas.
Merujuk pada Pasal 8 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Peraturan OJK adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).
“Ada konsekuensi secara hukum bila partisipasi secara maksimal dan bermakna tidak dijalankan oleh OJK berupa pelanggaran terhadap Putusan MK dan UU yang dapat membatalkan POJK. Apalagi bursa karbon yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata Made Ali.
Jikalahari mendesak OJK untuk membuka kepada publik draf POJK terkait bursa karbon, Penerapan Keuangan Berkelanjutan dan Taksonomi Berkelanjutan sebelum melakukan konsultasi ke Komisi XI DPR RI, termasuk sebelum berkoordinasi dengan Kementerian LHK.
“Jikalahari juga mendesak kepada DPR mengembalikan draf POJK kepada OJK untuk membahas substansi dan materinya bersama publik,” kata Made Ali.***