BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Zaman dahulu, hiduplah seorang nelayan tua di perkampungan Melayu. Nelayan itu bernama Awang Gading.
Meski sudah berumur, Awang Gading belum menikah. Namun, dia pandai bersyukur dan bijaksana, sehingga selalu bahagia.
Suatu hari, Awang Gading pergi memancing di sungai. Namun, hingga siang dan sore hari, tak satupun ikan menyambar kailnya. Awang Gading merasa kesal, dan memutuskan untuk pulang.
Di perjalanan pulang, sayup-sayup Awang Gading mendengar suara tangisan bayi. Awang mencari asal suara tangisan tersebut, dan menemukan bayi perempuan mungil nan cantik di tepi sungai.
Awang kemudian membawa bayi mungil tersebut ke rumahnya. Kemudian, dia menjumpai tetua kampung, untuk melaporkan ditemukannya bayi tersebut.
“Berbahagialah wahai Awang Gading. Penguasa sungai telah mempercayakan bayi itu untuk kamu asuh,” demikian kata tetua kampung.
Awang sangat bahagia. Dia kemudian mengadakan syukuran atas bayinya, dan memberi nama bayi tersebut dengan nama Dayang Kumunah.
Tahun berlalu. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis cantik dan bijak seperti ayahnya. Dayang Kumunah juga sangat cekatan dan mempunyai pengetahuan luas. Hanya saja, Dayang Kumunah tidak pernah terlihat tertawa.
Suatu hari, lewatlah seorang pemuda gagah bernama Awangku Usop. Pemuda ini langsung jatuh cinta kepada Dayang Kumunah, dan kemudian melamarnya.
Awang Gading yang merasa sudah waktunya Dayang Kumunah menikah menerima lamaran Awangku Usop.
Tak lama, Dayang Kumunah hamil. Namun, sebelum melahirkan, ayahnya Awangku Gading meninggal dunia. Dayang Kumunah merasa sangat sedih.
Melihat kesedihan isterinya, Awangku Usop berusaha menghibur. Untungnya, Dayang Kumunah melahirkan anak kembar lima, sehingga kesedihan perlahan menghilang di wajahnya.
Hanya saja, Awangku Usop merasa penasaran, karena Dayang Kumunah tak pernah tertawa. Walau diminta tertawa, Dayang Kumunah tetap menolak.
Hingga suatu hari, anak-anak Awangku Usop dan Dayang Kumunah sudah bisa berjalan. Melihat hal tersebut, semua orang merasa senang dan tertawa. Tetapi tidak dengan Dayang Kumunah.
Awangku Usop kemudian meminta Dayang Kumunah tertawa. Dia mengatakan tertawalah untuk sang buah hati.
Dayang Kumunah kemudian mengabulkan permintaan sang suami, dan tertawa. Saat itulah, terlihat ada insang di leher Dayang Kumunah.
Awangku Usop sangat terkejut melihat hal tersebut. Sedangkan Dayang Kumunah telah berlari menuju sungai.
Secara perlahan, tubuh Dayang Kumunah berubah menjadi seekor ikan yang sangat cantik. Kulitnya sangat mulus tanpa sisik.
Awangku Usop sangat menyesali perbuatannya memaksa Dayang Kumunah untuk tertawa. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Dayang Kumunah sudah berubah sepenuhnya menjadi ikan.
“Kanda, jagalah anak-anak kita dengan baik,” demikian pesan terakhir Dayang Kumunah.
Ikan jelmaan Dayang Kumunah oleh orang-orang kemudian diberi nama Ikan Patin. Itulah sebabnya, beberapa masyarakat Melayu tak mengkonsumsi Patin, karena dianggap keluarga. (bpc4)
Disadur dari buku ‘Legenda Ikan Patin’, Daryatun, terbitan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta