BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU- Kelompok masyarakat koalisi 18+ mengajukan permohonan judicial review Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan Mahkamah Konstitusi (MK). Koalisi 18+ meminta batas minimal perkawinan dinaikkan.
Sebab batas usia perkawinan yang sekarang dinilai merugikan pihak perempuan. Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan berisi mengenai batas usia minimal perkawinan anak perempuan 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun.
Pengajuan judicial review oleh tim kuasa hukum Koalisi 18+ ini mewakili permohonan yang dibuat oleh tiga orang perempuan korban perkawinan anak.
“Permohonan ini diajukan oleh korban. Ada tiga orang perempuan yang pernah menjadi korban perkawinan anak. Jadi tiga orang ini menikah saat umurnya masih belia. Jadi mereka ini punya kepentingan supaya anak-anak mereka tidak mengalami hal yang sama,” kata seorang kuasa hukum Koalisi 18+, Dian Kartika.
Dian mengatakan permohonan yang diajukan ke MK itu berdasarkan sebuah pengalaman hidup yang dialami oleh ketiga korban. Ketiga korban atas nama Endang (35), Maryanti (30) asal Bengkulu, dan Rasminah (28) asal Indramayu, Jawa Barat.
“Ketiganya dikawinkan oleh orang tuanya saat masih anak-anak. Endang dan Maryanti dikawinkan saat masih berusia 14 tahun, sedangkan Rasminah saat berusia 13 tahun. Perkawinan ketiganya akibat faktor ekonomi keluarga,” ujar Dian, belum lama ini.
Anggota tim kuasa hukum Koalisi 18+ lainnya, Ajeng Gandini, mengatakan keputusan orang tua mengawinkan anaknya pada usia kanak-kanak dengan tujuan mengurangi beban keluarga berakibat sebaliknya. Ajeng mengatakan, setelah perkawinan yang tidak seharusnya tersebut, beban yang ditanggung oleh ketiga korban bahkan menjadi semakin berat.
“Mereka dikawinkan karena beban ekonomi, jadi orang tuanya berpikir beban tanggungannya akan pindah kepada suami anaknya. Perkawinan anak ini dianggap sebagai solusi. Padahal tidak. Setelah perkawinan, malah beban semakin berat, anak yang menjadi hasil perkawinan itu juga harus ditanggung biayanya. Dan karena kondisi ekonomi yang juga tidak baik, anak-anaknya pun akan banyak mengalami masalah, baik pendidikan, kesehatan, maupun hak-hak lainnya. Akibatnya, perkawinan anak ini menambah panjang rantai kemiskinan,” jelas Ajeng.
“Jadi ke mana ketentuan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 tentang kesamaan setiap warga negara di mata hukum? Dalam pasal itu disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dan pemerintah wajib menjunjung tinggi tanpa adanya pengecualian. Jadi yang kita inginkan adalah, agar batas usia minimal antara laki-laki dan perempuan itu sama, kalau laki-laki 19 tahun, maka perempuan juga harus 19 tahun,” tegasnya.
Ajeng juga menyampaikan kekecewaannya kepada pemerintah yang dia nilai tidak cepat dalam merespons risiko atas perkawinan anak yang sangat besar dan mengkhawatirkan. Dia mengatakan pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, harus cepat merespons permasalahan tersebut untuk menjamin hak yang dimiliki oleh anak-anak perempuan Indonesia secara utuh.
“Kita melihat pemerintah belum melihat perkawinan anak ini segenting permasalahan seksual terhadap anak. Padahal, di dalam perkawinan anak, pasti terjadi kekerasan seksual. Dan banyak sekali dampak negatif dari perkawinan anak ini, misalnya saja beban semakin berat, hak atas pendidikan hilang karena mereka kawin saat lulus SD dan tidak bisa lanjut sekolah, dan masih banyak lagi. Karena itu, kami harap MK juga bisa memahami ini dan mengabulkan permohonan kami,” tutupnya.
Sebelumnya, MK menolak gugatan dengan materi yang sama pada Juni 2015. (dtk)