BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Dalam rangka memperingati Hari Perkebunan Nasional ke-64 yang jatuh pada 10 Desember, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menggelar serangkaian kegiatan. Satu kegiatan boleh dibilang bernilai istimewa, bahkan disebut-sebut pertama di Indonesia, yakni forum yang mempertemukan petani dan perusahaan perkebunan di Riau. Bertempat di Gedung Daerah Riau, Selasa (14/12/2021), Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar memimpin penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) kemitraan swadaya usaha pengolahan dan pemasaran TBS, melibatkan pihak perusahaan perkebunan mitra dengan kelembagaan pekebun mitra swadaya yang berlokasi di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu dan Kampar.
Acara pun dilanjutkan dengan penyerahan secara simbolis Sertifikat ISPO dan RSPO oleh Gubri berikut bazar produk perkebunan. Sekilas menyoal manfaat dari sertifikat adalah kelembagaan pekebun dapat mengelola usaha kelapa sawit dan memasarkan secara berkelanjutan serta diakui oleh pasar internasional.
Gebrakan Pemprov Riau di atas patut diapresiasi. Memberi semangat ke petani dan pengusaha perkebunan untuk mempertahankan dan meningkatkan komoditi unggulan. Pembentukan kemitraan swadaya bentuk komitmen Pemprov atas produk hukum daerah yakni Peraturan Gubernur (Pergub) Riau nomor 77 Tahun 2020, yang secara khusus mengatur tentang kemitraan plasma dan kemitraan swadaya serta mengatur penetapan harga TBS untuk pekebun swadaya berdasarkan harga penetapan oleh pemerintah melalui Dinas Perkebunan Provinsi Riau. Penetapan harga pembelian TBS bagi kelembagaan pekebun swadaya di Provinsi Riau dinilai momentum bersejarah bagi subsektor kelapa sawit. Gubri pun berharap kebijakan barusan dapat berbicara banyak membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekebun kelapa sawit dengan pola swadaya. Ke depan, implementasi dapat diperluas ke kabupaten/kota lain yang punya potensi komoditi kelapa sawit di Provinsi Riau.
Penguatan sektor perkebunan perlu digencarkan. Namun pendekatan bukan soal produksi dan komoditas saja. Sebagaimana pidato Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma`ruf Amin didampingi Menteri Pertanian (Mentan) saat launching Hari Rempah Nasional di kawasan Danau Toba Sumatera Utara (10/12), bahwa butuh tata kelola mumpuni. Meliputi tata niaga; peningkatan kesejahteraan petani dan pekebun; mendorong peran pelaku usaha baik kecil, menengah termasuk koperasi melalui penguatan kelembagaan petani dalam wadah korporasi sehingga berperan aktif sebagai soko guru ekonomi. Intinya terpadu, menyeluruh dan sistematis. Kembali ke subsektor kelapa sawit, mengingat potensi yang sangat besar bagi Riau, maka masa depan tergantung bagaimana pengelolaan saat ini. Kita ingin keunggulan sumber daya bisa dirasakan manfaatnya hingga ke generasi masa mendatang. Seiring sawit menjadi primadona kedua setelah Migas bagi perekonomian dan pendapatan daerah, keuntungan berkelanjutan tergantung dari perencanaan. Sehingga tergambar jelas arah jalan pengelolaan perkebunan ke depan.
Rencana Induk
Industri sawit pantas dibanggakan dan diklaim sukses meminimalisir kemiskinan di negara tropis. Studi kasus menemukan bahwa petani bekerja di industri sawit dengan ketentuan berpihak ke mereka akan meningkatkan pendapatan secara signifikan. Namun, studi kasus juga memberitahu bahwa masyarakat di industri sawit dengan ketentuan merugikan bisa menyebabkan jatuhnya mereka ke dalam kemiskinan, kehilangan lahan dan mata pencaharian. Secara umum eksesnya meliputi aspek sosial serta kerusakan ekologis dan lingkungan. Tak sedikit penduduk kehilangan tanah yang sebelumnya merupakan sumber penghasilan. Mereka yang dulu berprofesi sebagai petani pemilik lahan, beralih sebagai buruh harian di perkebunan. Terkait lingkungan, banyak wilayah setelah perkebunan sawit berdiri terjadi pencemaran sungai akibat pupuk, pestisida serta limbah lain. Hasilnya, sungai semula digunakan untuk menangkap ikan, mandi, hingga kebutuhan masyarakat jadi tidak layak. Paling fatal menyebabkan bencana. Presiden Joko Widodo mengakui saat mengunjungi Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat baru-baru ini. Beliau menyebut salah satu penyebab kerusakan lingkungan di sekitar sungai di Kalimantan adanya aktivitas perkebunan.
Berkaca dari problematika, wajar kiranya sektor perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Paradigma yang diinginkan adalah optimalisasi keuntungan dan meminimalisir “efek samping”. Karena apapun kegiatan dan aktivitas pengelolaan sumber daya pasti berdampak buruk. Sayangnya, strategi daerah dalam pengembangan perkebunan cenderung masih fokus ke aktivitas dan produksi. Sementara pendekatan sinergi dan berkelanjutan belum diseriusi. Misal, pertimbangan penentuan komoditas unggulan perkebunan belum mendasarkan pada analisis kesesuaian lahan, pertimbangan berbagai sudut pandang termasuk biaya sosial dan biaya ekonomi serta pelestarian lingkungan dan seterusnya. Padahal seluruh aspek saling berkaitan. Ketika perencanaan perkebunan abai terhadap aspek sosial dan lingkungan ujungnya biaya untuk mengatasi dampak kerusakan yang timbul jauh lebih besar daripada keuntungan didapat. Riau sudah merasakannya semisal konflik lahan dan Karhutla.
Untuk itu Pemerintah Daerah (Pemda) mesti punya strategi perkebunan berkelanjutan. Demi optimalisasi sektor perkebunan bagi masyarakat dan daerah dengan meminimkan cost sosial dan lingkungan. Dalam konteks ini kebutuhan adanya rencana induk sangat membantu memberi panduan atau arahan bagi pengambil keputusan dalam menerbitkan kebijakan terapan. Berikut implementasi di tingkat tapak oleh pelaku perkebunan: petani, pihak swasta dan termasuk melindungi masyarakat tempatan dan masyarakat adat. Melalui pendekatan tadi, sektor perkebunan dapat terlaksana secara bertanggung jawab, berkelanjutan dan memberikan manfaat dari generasi ke generasi. Selain rencana strategi lingkup internal perkebunan, juga mencakup rencana pembangunan perkebunan bersifat multi sektor dan multi pihak. Sudah rahasia umum ketidaksinkronan antar sektor di organisasi pemerintahan turut berkontribusi sebagai faktor penghambat. Di tataran konsep dan operasional juga terkesan berjalan parsial. Produktivitas perkebunan oleh dinas perkebunan sementara urusan lingkungan oleh dinas lain. Sementara urusan perkebunan pasti ada irisan urusan yang tak sulit ditangani satu dinas. Disinilah butuh sinergi dan kolaborasi. Perencanaan multi aspek, multi pihak dan lintas sektoral seperti dipaparkan hanya bisa diwadahi melalui penyusunan rencana induk.
Hal ini paling relevan diangkat bersempena peringatan Hari Perkebunan Nasional di Provinsi Riau. Mengingat urgensinya untuk memandu langkah lebih terarah serta upaya pengelolaan sumber daya efektif dan efisien. Ketika aspek-aspek tadi terpenuhi, produktivitas dan nilai tambah serta daya saing lebih maksimal. Kita malu dengan daerah lain seperti Jawa Barat. Pemprovnya sudah lebih dulu membahas rencana induk pembangunan perkebunan dengan menggandeng Institut Pertanian Bogor (IPB). Upaya tersebut tindak lanjut Perda Penyelenggaraan Perkebunan. Provinsi Riau sebenarnya sudah punya Perda serupa yakni Perda 6/2018. Namun sayangnya belum mengatur soal penyusunan rencana induk. Idealnya mengingat status daerah sentra perkebunan terutama kelapa sawit, Riau lebih membutuhkan. Peran dan konstribusi sektor perkebunan juga signifikan bagi perekonomian dan pendapatan daerah. Rencana induk bukan sekedar hitam di atas putih. Tapi ikhtiar menkreasi peluang dan menjaga keunggulan agar terus berlanjut. Pembangunan perkebunan hanya akan berarti jika memadukan aktivitas dan produktivitas, kelestarian lingkungan serta keharmonisan dengan kehidupan masyarakat.
*H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau