BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Penggiat lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [Jikalahari] mengapresiasi Kejaksaan Agung yang menetapkan 4 orang sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil [CPO] bulan januari 2021 – Maret 2022.
Mereka adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendagri, Indrashari Wisnu Wardhana, Komut PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup Stanley MA, General Manager General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut tersangka Indrasari Wisnu Wardhana telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni menerbitkan persetujuan ekspor terkait komoditi CPO dan produk turunannya kepada tiga perusahaan yaitu Permata Hijau Group Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas.
Padahal, kata Burhanuddin, perusahaan itu belum memenuhi syarat diberikan izin persetujuan ekspor. Dalam kasus minyak goreng ini, penyidik telah memeriksa sebanyak 19 saksi serta memeriksa 596 dokumen atau surat terkait.
Jikalahari mendorong Kejagung tidak berhenti pada persoalan ekspor CPO, tapi Kejagung mesti menindak Wilmar Grup dan PT Musim Mas dalam tindak pidana menerima TBS dari kawasan hutan, mengemplang pajak dan terlibat pembakaran hutan dan lahan. Kejagung harus melibatkan Gakkum KLHK, KPK dan Kepolisian.
Pertama, Hasil investigasi Eyes on the Forest (EOF) menemukan PT Musimas dan Wilmar Grup terbukti menerima TBS ilegal dan CPO yang tercampur TBS illegal.
Tahun 2012, 2014 dan 2016 EoF menemukan 14 pabrik CPO yang diinvestigasi EoF membeli TBS ilegal dan menjual ke PT Musim Mas. Pada 2017, EoF menemukan penyulingan milik Grup Musim Mas yaitu PT Inti Benua Perkasatama Lubuk Gaung, membeli CPO dari pabrik yang ditemukan membeli TBS dari Taman Nasional Tesso Nilo.
Lalu, pada 2019, EoF kembali menemukan PT Intibenua Perkasatama Lubuk Gaung Refinery, anggota Grup Musim Mas Holdings Pte. Ltd, masih membeli CPO yang tercampur TBS Ilegal.
Temuan di Wilmar Grup, pada 2011, Wilmar diindikasikan terlibat dalam perdagangan TBS yang ditanam secara illegal di dalam Taman Nasional Tesso Nilo. EoF menemukan tiga mils milik PT Citra Riau Sarana menerima TBS yang ditanam secara ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo.
Lalu pada 2013, EoF menemukan ada 8 PKS yang terkonfirmasi menerima TBS illegal dari koridor Bukit Batabuh. Salah satu dari 8 PKS tersebut menuju ke Pelabuhan minyak milik wilmar.
Terakhir, pada November 2019, EoF juga melacak truk-truk CPO yang tercemar TBS ilegal telah dibeli oleh 6 pabrik penyulingan, salah satunya Wilmar.
“Padahal Wilmar termasuk ke dalam anggota RSPO dan memiliki sertifikat-sertifikat RSPO, pasar juga mestinya menolak CPO dari Wilmar,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Dari hasil investigasi ini, membuktikan PT Musim Mas dan Wilmar Grup sudah lama melakukan kejahatan yang terorganisir dan menimbulkan kerugian negara, berupa membeli sawit dari kawasan hutan, dan itu kejahatan,” kata Made Ali.
Kedua, kata Made, berdasarkan temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHKHT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHKBK, Izin Usaha Pertambangan, Izin Industri dan Izin Lingkungan dalam Upaya Memaksimalkan Penerimaan Pajak serta Penertiban Perizinan dan wajib Pajak Provinsi Riau DPRD Riau menemukan; berdasarkan perhitungan pansus terhadap PT Musim Mas, terdapat indikasi kerugian Negara, daerah, dan masyarakat dalam bentuk potensi pajak P3 (PPn, PPh, dan PBB) kurang lebih Rp50,6 miliar setiap tahunnya. Dengan rincian untuk PPN Rp36 miliar, PPH Rp13,5 miliar dan PBB Rp1,1 miliar.
Wilmar Grup melalui anak perusahaan PT Citra Riau Sarana, terdapat indikasi kerugian Negara, daerah, dan masyarakat dalam bentuk potensi pajak P3 (PPn, PPh, dan PBB) kurang lebih Rp82,3 miliar setiap tahunnya. Dengan rincian untuk PPN Rp58,5 miliar, PPH Rp21,9 miliar dan PBB Rp1,9 miliar.
Terjadinya indikasi penyimpangan penentuan pajak lebih disebabkan tidak cocoknya informasi dari manajemen terkait kapasitas produksi dan kebutuhan TBS pada tingkat produksi normal yang terjadi .
Ketiga, Wilmar juga menerima CPO dari korporasi yang terlibat kebakaran hutan dan lahan di Riau. Berdasarkan data supplying mills Wilmar, PT Adei Plantation and Industry merupakan salah satu pemasok CPO ke Wilmar.
Pada 12 November 2020, Majelis Hakim PN Pelalawan membacakan putusan sidang karhutla PT Adei Plantation and Industry. PT Adei Plantation and Industry dinyatakan bersalah dan mendapat pidana denda sebesar Rp1 miliar serta denda tambahan untuk perbaikan pemulihan lingkungan sebesar Rp2,9 miliar yang dimasukkan ke dalam kas negara.
Perbuatannya dinyatakan melanggar pasal 99 ayat (1) juncto pasal 116 ayat (1) huruf (b) UU 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, kata Made, Jikalahari menilai pernyataan Direktur Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang mengatakan penetapan tersangka tidak sah adalah penyesatan publik.
Di tengah kacaunya dan menderitanya akibat kelangkaan minyak goreng yang disebabkan oleh mafia dan telah ditangkap Kejagung, GIMNI justru membela mafia minyak goreng tersebut.
“GIMNI tiba-tiba muncul setelah mafia minyak goreng ditangkap Kejagung, anehnya GIMNI tak pernah muncul saat terjadi kelangkaan minyak goreng. GIMNI juga tidak pernah bersuara saat Wilmar Grup dan PT Musim Mas dan korporasi sawit lainnya yang terlibat karhutla, mengemplang pajak dan menerima TBS dari kawasan hutan,” kata Made Ali.
Kebijakan Presiden Jokowi yang diumumkan pada 22 April 2022 tentang Pelarangan Ekspor ekspor bahan baku minyak goreng (RDB Palm Olein) yang akan diberlakukan pada 28 April 2022 tidak cukup untuk melawan mafia sawit.
“Ini peluang besar bagi Presiden Jokowi menata ulang tata kelola sawit berupa merevisi seluruh izin perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan,” kata Made Ali.***
[Rilis]