BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Koalisi Eyes on the Forest (EoF) menyatakan hanya sekitar 0,8 juta hektar atau 14% dari kebun sawit di Riau — penghasil produk sawit terbesar di Indonesia — yang bisa dianggap legal. Hal ini merujuk dari hasil investigasi yang telah mereka terbitkan.
EoF menyarankan para pembeli produk sawit bahwa 86% kebun sawit Riau harus dianggap ilegal, hingga verifikasi lapangan rinci bisa membuktikan hal sebaliknya.
“Legalitas produk adalah persyaratan minimal dari kebijakan pengambilan bahan baku di banyak perusahaan. Namun, jumlah besar produk ilegal terus memasuki rantai pasok global,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau, dalam keterangan resmi yang diterima Bertuahpos.com, Kamis 3 Juni 2021.
“Kami merekomendasikan para pembeli dan pedagang global untuk fokus pada pelaksanaan kebijikan dalam menelusuri produk-produk mereka menuju tingkat perkebunan, mengidentifikasi legalitasnya, dan mengambil bahan baku di tempat lainnya jika ketahuan ilegal,” kata dia.
“Skala masalah yang dihadapi para pembeli global terhadap ‘wajah produk ternoda’ ini sangatlah besar, karena isu-isu legalitas ini sistemik, dan telah diketahui publik sejak lama. Rantai pasok hilir sawit telah biasa mengabaikan isu-isu itu dan terus membeli produk yang ditanam secara ilegal,” ujar Riko.
Menurut data dari hasil investigasi EoF antara Mei dan November 2019, menemukan bahwa Tandan Buah Segar (TBS) yang ditanami ilegal dari 43 perkebunan sawit ilegal yang jadi sampel, telah dibeli oleh 15 Pabrik Kelapa Sawit (PKS), mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawita Sejati dan Royal Golden Eagle.
Sebagian dari PKS itu juga menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada 6 kilang milik Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle dan Wilmar.
Mempertimbangkan kenyataan meluas karena ilegalitas ini, hubungan korporat antara sejumlah perkebunan diinvestigasi, PKS dan kilang, dan fakta bahwa perusahaan mengetahui isu ini, maka temuan laporan tidak bisa diabaikan seperti ‘itu hanyalah data lama yang sama.’
Sekali lagi, seperti halnya laporan EoF pada 2018 ‘Cukup Sudah’ 5 anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan sejumlah pemegang fasilitas sertifikat RSPO Mass Balance, Segregated and Identity Preserved Supply Chain Model, terimplikasi dengan perdagangan produk ilegal.
Dalam laporan itu, 5 anggota RSPO termasuk dua pelanggar berulang, Wilmar dan RGE, adalah pedagang global yang besar. Jika perusahaan hilir membeli produk RSPO Mass Balance dari perusahaan-perusahaan ini, ada kemungkinan mereka mengandung materi yang bertumbuh secara ilegal dan tidak lestari.
Dijelaskan pula, bahwa investigasi EoF terus menyorot kepentingan urgen bagi semua perusahaan dalam rantai pasok sawit untuk membuat sistem due diligence yang efektif, bahkan pada fasilitas bersertifikasi RSPO.
Rekomendasi
EoF pun merekomendasikan produk sawit dengan kebijakan NDPE untuk memiliki sistem yang tepat untuk memverifikasi produk sawit tidak bersertifikat manapun memasuki rantai pasok mereka secara legal dan bebas deforestasi.
Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada November 2020 dan peraturan pelaksananya pada Februari 2021 dimaksudkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menggenjot investasi, di antaranya industri sawit.
Kajian koalisi EoF yang baru soal implikasi hukum dari UU baru dan peraturan pemerintah yang dirincikan dalam Laporan menyimpulkan para pebisnis tidak seharusnya berharap UU Cipta Kerja akan secara otomatis melegalkan semua kebun sawit yang saat ini.
Banyak perkebunan ilegal yang tidak layak untuk mendapat “kartu bebas dari penjara” dan bahkan mereka ada yang layak untuk perlu menjalani sejumlah proses dan bahkan membayar biaya mahal atas pelanggaran yang dilakukan di masa silam.
Sawit ilegal dalam Kawasan hutan tak lepas dari praktek korupsi seperti ditunjukkan oleh grup Darmex Agro yang melibatkan CEO Darmex dan manajer, anak perusahaan, dan mantan Gubernur Riau.
“Dukungan politik kuat untuk Omnibus Law dan terus melemahnya Lembaga anti-korupsi di negeri ini membuat penegakan hukum melawan perkebunan ilegal jadi pertempuran yang terjal di Indonesia,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Karena itu, kami mengimbau para pedagang, pembeli industri sawit, investor dan konsumen di seluruh dunia, untuk mengambil tindakan segera guna melindungi mereka dengan memisahkan sumber dan investasi mereka dari ilegalitas berganda.”
“Dan semua isu lingkungan dan sosial yang melanda perusahaan sawit, PKS, dan para pelaku usaha lainnya di rantai pasok. Menanti Omnibus Law membebaskan semua yang bersalah yang menghancurkan sumber daya alam negeri ini bukanlah satu opsi,” tutur Made Ali.
Dia menambahkan, kebun sawit ilegal berskala besar dan berlangsung lama di Riau tidak hanya menyebabkan kehilangan serius habitat satwa liar dan kerusakan bagi lingkungan setempat dan iklim global melalui emisi gas rumah kaca dari gambut yang dibuka, namun juga mengakibatkan kerugian serius terhadap ekonomi negara.
“Sebagai contoh, DPRD Riau memperkirakan bahwa provinsi ini sendiri berpotensi kehilangan pajak sebesar 107 triliun per tahun dari 1,4 juta hektar yang merupakan kebun sawit tak berizin dan ilegal,” ujar Riko Kurniawan.
Kalangan NGO di Indonesia menyoroti isu-isu ini yang berkembang dituduh menjalankan ‘kampanye hitam’ oleh mereka yang mencoba beralih dari kenyataan buruk.
“Apakah perusahaan yang menghindari pajak setelah menghancurkan hutan kita dan Kawasan lindung benar-benar ‘nasionalis’ dengan menjalankan ‘kampanye putih’?“ kata Riko.
“Kami masih optimis Pemerintah akan menunjukkan ketegasan dan konsistensi dalam menegakkan hukum seperti halnya menawarkan solusi tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus kebun ilegal di Riau. Bangsa ini menderita kerugian yang besar dari pelaku usaha tak bertanggungjawab yang terus meraup keuntungan dari praktek deforestasi dan/atau ilegalitas serta menyebabkan kebangkrutan ekonomi, sosial dan lingkungan bagi Negara. Saatnya bagi para pelaku menghadapi konsekuensi dan membayar lunas kerugian yang mereka buat.”
Dijelaskan, dari 29 dari 43 kebun ilegal diinvestigasi EoF berada di dalam dan di sekitar lansekap konservasi Tesso Nilo, Bukit Tigapuluh dan Bukit Batabuh. EoF berharap menemukan investasi dari pembeli global, pedagang dan investor untuk merestorasi lansekap ini dan yang lainnya yang dihancurkan oleh industri sebagai bagian pengambilan bahan komoditas lestari dan pendanaan mereka. (bpc2)