BERUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – PT Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL GROUP) merevisi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan atau Sustainable Forest Manajement Policy (SFMP) 1.0 menjadi SFMP 2.0 pada 03 Juni 2015, namun pada implementasinya APRIL Group tidak mengutamakan perubahan yang signifikan dalam penyelesaian konflik dan komitmen untuk melindungi kawasan gambut.
Pengurus Pusat Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Syahrudin menjelaskan, seperti yang dipersentasikan Tim SFMP 2.0 APRIL Group pada pertemuan dengan NGO/LSM di Riau pada Selasa,15 September 2015 yang lalu. PT. Riau Andalan Pulp and Paper (PT.RAPP) anak perusahaan APRIL Group, masih akan menggali gambut sepanjang 376 Km untuk kanal/drainase di areal tanaman kehidupan dan akan membangun 200 Ha tanaman kehidupan (Blok Pulau Padang) di Desa Bagan Melibur dan Mayang Sari Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti yang hingga kini masih berkonflik dengan perusahaan tersebut.
Dia menyebutkan rencana PT. RAPP untuk menggali kanal dilahan gambut dinilai telah melanggar komitmen perusahaan bubur kertas yang sebelumnya didengungkan perusahaan itu sendiri. Di dalam SFMP 2.0 yang menyebutkan APRIL akan mengimplementasikan paktik-praktik terbaik dilahan gambut yang mendukung target pemerintah Indonesia.
“Berdasarkan analisa kami bencana kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLA), serta krisis air yang terjadi di Riau, penyebap terbesar dari bencana tersebut antara lain karena adanya kanalisasi di kawasan gambut dan pembabatan hutan alam bergambut, yang menjadikan gambut kering dan mudah terbakar. Kondisi ini memiliki andil besar sebagai pemicunya,” ungkapnya.
(baca: RAPP Diduga Lakukan Manipulasi)
Sementara itu, dia melanjutkan, untuk membangun tanaman kehidupan tidak harus mengunakan kanal, ini tidak hanya di Pulau Padang, tapi untuk seluruh areal konsesi APRIL Group. Masyarakat sudah membuktikan dari zaman dahulu bahwa tanpa mengunakan kanal tanaman mampu tumbuh baik dan tetap lestari dilahan gambut.
Berbeda halnya dengan teknologi ekohidro yang diterapkan perusahaan dan diklaim mampu mencegah kebakaran namun faktanya di 3 tahun terakhir konsesi PT. RAPP yang menerapkan teknologi tersebut malah ada Karhutlanya.
“Selain itu jika terus membangun kanal di Pulau Padang sama saja menciptakan bencana besar dimasa mendatang untuk pulau kecil yang hanya seluas 110.000 hektar itu,” tambah Syahrudin.
Di sisi lain, Sumarjan, seorang tokoh masyarakat di Desa Bagan Melibur menyampikan. Rencana PT. RAPP untuk membagun tanaman kehidupan di Desa Bagan Melibur dan Desa Mayang Sari itu tidak bisa diterima dan wajib dipertanyakan, Desa Bagan Melibur dan Mayang Sari itu masih satu kesatuan karena belum ada kesepakatan tapal batas desa pasca di mekarkan, artinya kedua desa tersebut masih berpedoman kepada peta administrasi desa tahun 2006 yang diterbitkan oleh Pemkab Bengkalis ketika itu. “Dan jika kita lihat lagi izin IUPHHK-HTI PT. RAPP no. 180/Menhut-II/2013 disitu jelas menyebutkan bahwa Desa Bagan Melibur di keluarkan dari areal kerja/konsesi PT.RAPP, jadi bisa kita bahasakan PT.RAPP sekarang beroprasi dikawasan haram/illegal,” sambungnya.
(baca: Kebakaran Lahan, Izin April Harus di Evaluasi April)
Selain itu, niat PT.RAPP yang akan membangun tanaman kehidupan di Desa Bagan Melibur serta Mayang Sari akan menimbulkan persoalan baru terkait tapal batas, dan bertentangan dengan keinginan pemerintah baik pusat maupun daerah, seharusnya PT. RAPP mendorong penyelesaian konflik yang ada terkait tapal batas konsesi dan tapal batas desa bukan malah ingin membangun tanaman kehidupan namun mengabaikan persoalan, tidak akan berarti banyak tanaman kehidupan jika konflik yang ada dibiarkan tanpa kejelasan.
PT. RAPP sudah seharusnya mengakomodir keinginan masyarakat dan pemerintah, seperti arahan dari Dirjen Kehutanan melalui surat No. 5.851/VI-BUHT/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Penyelesaian Konflik Lahan antara PT.RAPP (Blok Pulau Padang) dan Surat Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti kepada Kementrian Kehutanan dengan Nomor surat : 522.2/Dishutbun/IX/2014.311, yang menyampaikan bahwa SK.180/Menhut-II/2014 tidak sesuai dengan peta administrasi desa yang ditetapkan Bupati Bengkalis tahun 2006, sehingga diminta untuk dapat mengeluarkan wilayah desa Bagan Melibur (sisa luas 2.830,59 Ha) dan Desa Mengkirau (sisa luas 1.241,40 Ha), yang didalamnya juga mencakup Desa Mayang Sari. PT. RAPP pasti mengetahui tentang surat-surat tersebut karena surat tersebut juga di tembuskan ke PT. RAPP
Kata Sumarjan Selagi konflik ini belum terselesaikan secara baik dengan mengacu kepada keinginan masyarakat banyak dan arahan pemerintah baik pusat maupun daerah, maka tidak sepantasnya PT.RAPP seakan memaksakan tanaman kehidupan yang dianggap sebagai solusi penyelesaian kepada masyarakat, hal ini juga harus menjadi catatan bagi aparat desa terkait dan pemerintah ditingkatan kecamatan, semuanya harus berkontribusi untuk menyelesaikan, dan jangan sampai ada yang mengambil keputusan sepihak atau bak pepatah memancing di air keruh.
Dan yang terpenting dilakukan PT. RAPP di Desa Bagan Melibur itu adalah mengembalikan wilayah desa seluas 2.830,59 Ha yang sudah dirampas, serta menghijaukan kembali hutan alam yang sudah ditebang habis serta menutup kanal-kanal yang mereka buat, bukan alih-alih mau kasi tanaman kehidupan yang tidak jelas dasarnya tersebut. (Rilis/melba)