BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Rencana pemerintah untuk melebur Badan Restorasi Gambut (BRG) ke BPNPB direspon positif dan negatif. Hal ini juga dianggap ‘menarik’ bagi penggiat lingkungan di Provinsi Riau. Terhadap ini, Jikalahari menilai wacana Badan Restorasi Gambut (BRG) dilebur dalam Badan Nasional Penanggulangan Belanca (BNPB).
“Tidak tepat karena kerja merestorasi gambut butuh badan khusus yang fokus bukan saja mencegah karhutla. Jauh dari itu, memperbaiki tata kelola gambut yang telah rusak dan tercemar termasuk mengembalikan ekonomi masyarakat paludikultur. Jika dilebur ke BNPB, kerjanya kelak tidak akan fokus, sebab bila terjadi bencana, restorasi gambut tidak lagi menjadi prioritas,” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
“Memperbaiki gambut butuh setiap hari dilakukan dan menjadi prioritas. Dan itu perlu badan khusus yang punya satu kewenangan saja, yaitu merestorasi gambut,” kata Okto dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 16 Juli 2020.
Catatan Jikalahari Terhadap Kinerja BRG
Catatan Jikalahari, BRG berhasil restorasi 78 ribu hektar dari 109.500 ha dari target restorasi gambut di luar konsesi, serta melakukan supervisi di areal konsesi seluas 195.847 hektar dari target 856.540,18 hektar.
“Di samping keberhasilannya, BRG masih memiliki PR untuk menyelesaikan restorasi gambut baik di areal konsesi korporasi maupun di luar konsesi korporasi,” kata Okto.
Selain membasahi kembali lahan gambut dan penanaman pada gambut rusak, BRG juga melakukan pemulihan ekonomi masyarakat dalam mengelolah gambut secara berkelanjutan.
Temuan Jikalahari
Temuan Jikalahari di areal non korporasi, di desa-desa bergambut yang masuk dalam program Desa Peduli gambut (DPG), menunjukkan BRG mengedukasi pengelolaan lahan gambut tanpa bakar. Serta, yang paling
penting membumikan paludikultur.
“Paludikultur intintya mengajak masyarakat kembali menanam tanaman bernilai ekonomi yang ramah terhadap gambut dan tidak monokultur,” kata Okto.
Paludikultur merupakan suatu budidaya tanaman menggunakan jenis-jenis tanaman rawa atau tanaman lahan basah, yang tidak memerlukan adanya drainase air gambut. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan ini mesti dilakukan tepat waktu (sebelum lahan gambut mengalami genangan permanen/parah), dan jenis-jenis yang akan ditanam disesuaikan dengan dinamika genangan yang terjadi. Diharapkan tanaman tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi. Tanamannya berupa sagu, nanas, jahe, padi, jagung dan sayur-mayur yang sesuai dengan lahan gambut.
“Tanaman-tanaman Palidukultur ini bisa menjadi ketahanan pangan di tengah COVID-19 dan juga bernilai ekonomi komersil masyarakat di kampung-kampung. Mustinya pemerintah fokus menyediakan pembiayaan dan pasar yang wajib menerima usaha ekonomi masyarakat dari kampung,” kata Okto.
Oleh karenanya, wacana BRG dilebur di BNPB adalah wacana yang bikin masyarakat di kampung-kampung yang sedang mengelola gambut untuk tanaman pangan akan melemah dan kembali tidak percaya pada pemerintah.
Jikalahari mendesak pada Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koperasi dan UMKM, Menteri LHK, Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian termasuk Menteri Perdagangan turun ke kampung-kampung bergambut membenahi tata kelola gambut mulai bibit, modal, pasar hingga kepastian ruang kelola berupa perhutanan sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). (bpc2)