Judi Online (Judol) di tanah air memasuki fase serius.
Sampai-sampai terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 yang melandasi pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring.
Satgas dikomandoi Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto beranggotakan Menkominfo sebagai Ketua Harian Pencegahan, Kapolri selaku Ketua Harian Penegakan Hukum, Dirjen IKP Kominfo Wakil Ketua Harian Pencegahan, dan Ka Bareskrim Polri bertugas Wakil Ketua Harian Penegakan Hukum.
Mengutip pernyataan Menko Polhukam pada Konferensi Pers (Konpers) Rakor Satgas di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta (19/6/2024), terdapat tiga tugas utama Satgas: Pertama, akan menindak rekening penampung Judol sesuai hasil analisis PPATK.
Kedua, akan menindak pelaku jual beli rekening yang digunakan untuk Judol. Dalam Konpers diungkap modus penyelenggara Judol mendatangi kampung dan mendekati masyarakat agar membuka rekening online.
Rekening-rekening tadi diserahkan ke pengepul dan dijual ke Bandar. Terakhir tugas ketiga, Satgas akan menindak game online yang terafiliasi Judol.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui anggota yang duduk di Komisi I DPR-RI menyambut baik pembentukan Satgas.
Besar harapan kehadiran Satgas tak seumpama pemadam kebakaran. Tapi benar-benar wujud konkrit pemimpin negara satu sikap mengatasi Judol. Terintegrasi, komprehensif dari hulu ke hilir.
Mengingat dampak begitu masif. Ancamannya tak main-main: generasi bangsa. Berdasarkan pemetaan Pemerintah, jumlah pemain Judol mencapai 2,37 juta penduduk. Mirisnya 2 persen diantaranya anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Secara umum mereka di usia produktif.
Situasi tentu membahayakan mimpi Indonesia meraih bonus demografi. Bukannya bonus demografi didapat, malah beban demografi. Menggiring generasi produktif ke arah kontraproduktif. Karena judi disamping mengiming-imingi penghasilan tanpa kerja keras, juga menghasilkan generasi rusak mental dan moral. Ingin kaya tanpa peduli marabahaya dan penyesalan di masa mendatang.
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lewat publikasinya di tahun 2017 menyatakan bahwa kecanduan judi salah satu masalah dunia. Mengacu ke angka prevalensi WHO, kalau dikumpulkan suatu wilayah, estimasi penjudi aktif Indonesia hampir setara jumlah penduduk satu provinsi Jakarta.
Nilai kerugian timbul akibat judi diperkirakan tiga kali lipat lebih besar dibanding penyalahgunaan obat-obatan/penggunaan obat-obat terlarang. Uang jelas terbuang. Merujuk ke temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), akumulasi perputaran uang Judol periode Januari-Maret 2024 tercatat lebih dari Rp 100 triliun (Kompas, 18/6/2024).
Perhitungan dilakukan dengan cara membagi nilai uang yang berputar dengan jumlah transaksi judi serta prevalensi penduduk yang berpotensi kecanduan judi. Apabila tren negatif ini terus berlanjut, bukan mustahil akhir tahun 2024 nilai perputaran Judol bisa mencapai Rp 400 triliun. Sungguh jumlah teramat besar dari rakyat untuk berjudi. Bukan kalangan awam saja terjerembab.
Semua lini, kaya miskin, profesi A–Z dan seterusnya. Selain menyia-nyiakan uang, aspek lain seperti retaknya relasi pelaku dengan lingkungan sekitar, munculnya tindak kekerasan dan kriminal serius, menurunnya kesehatan fisik, berkurangnya produktivitas bekerja dan pendidikan serta gangguan psikis dan emosional. Tak sedikit kasus dimana Judol memicu tindakan bunuh diri.
Sudah terjadi negeri kita. Mei 2024, seorang perwira TNI mengakhiri hidup lantaran terlilit utang hingga Rp 819,3 juta akibat judi daring. Kemudian Juni 2024, anggota Kostrad Bogor tewas gantung diri dipicu hal serupa.
Pencegahan
Aktivitas Judol bukan hal baru. Tapi kian menjadi-jadi beberapa tahun belakangan. Boleh dibilang kecanduan Judol di negeri kita ibarat penyakit komplikasi.
Berangkat dari kondisi, terlalu naif rasanya berharap masyarakat mengedukasi diri tentang risiko dan dampak negatif Judol. Begitupula pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk menasehati. Itulah mengapa dalam ajaran Islam dikenal prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Menasehati harus diiringi tindakan pencegahan. Kendati sudah ada aturan tegas mengancam pelaku yakni UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja tak mampu membendung Judol. Apatah lagi mengandalkan himbauan.
Kami tidak bermaksud meremehkan pentingnya edukasi, tapi intervensi kekuasaan dan kebijakan jauh lebih menentukan. Itulah kenapa negara wajib hadir.
Apalagi aktivitas Judol mendegradasi bangsa begitu sistematis. Orang bijak berkata: kejahatan terorganisir akan mampu mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Maka cara men-counter-nya melalui gerakan lebih sistematis. Tekad dan aksi nyata.
Ironisnya beberapa kali Pemerintah justru bikin blunder. Mulai menggaet artis yang pernah mempromosikan Judol sebagai duta hingga wacana mengenakan pajak Judol seperti yang sempat dilontarkan Menkominfo. Padahal semestinya negara beri teladan sikap ke rakyat.
Pemerintah RI meniru negara tetangga yang memberi hukuman tegas serta meningkatkan kerjasama dengan pemerintah di negara lain. Sebab Judol dioperasikan dari luar negeri. Kantornya didapati di negara semisal Kamboja.
Disana mereka merekrut orang Indonesia sebagai pekerja atau operator. Memburu pemain dan pihak yang endorse Judol dinilai tak akan signifikan.
Sekali lagi aktivitas Judol terstruktur. Termasuk pihak yang memfasilitasi. Disinilah sumber penyakitnya. Sudah bukan rahasia umum lagi keterlibatan oknum aparatur negara.
Baru-baru ini seorang anggota Komisi III DPR RI terang-terangan mengungkap saat rapat, bahwa ada oknum Kominfo melindungi situs-situs Judol. Institusi penegak hukum tak luput. Masih segar di benak kita di tahun 2022 saat kasus Sambo heboh isu “Konsorsium 303”.
Istilah barusan mengarah ke kelompok yang diduga mendapat suap atau upeti hingga ratusan miliar perbulan dari pengusaha Judol. Saking parahnya, mengutip pernyataan LSM IPW, markas bos konsorsium Judol hanya berjarak 200 meter dari Mabes Polri. Waktu itu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo gerak cepat membentuk tim gabungan guna penyelidikan berikut mencopot oknum Polisi yang terlibat.
Menindak warga dan agen yang mempromosikan Judol memang perlu ditempuh dalam rangka meredam dan memberi efek jera. Tetapi memperkuat aparatur pemerintahan dan institusi penegak hukum agar bersih dari oknum yang turut menyuburkan munculnya kejahatan konvensional termasuk Judol urgen untuk ditempuh.***
Penulis: Dr (HC) H Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM, adalah Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau (seluruh materi dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis).