Oleh:
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
Anggota DPRD Provinsi Riau Dapil Pekanbaru
Persoalan sampah yang menumpuk jadi trending topic di Kota Pekanbaru. Sebagai ibukota Provinsi Riau jelas permasalahan ini tak bisa dibiarkan berlama-lama. Dengan statusnya Pekanbaru seharusnya dapat menjadi role model bagi Kabupaten/Kota di Riau. Bahkan sangat diharapkan memberi inspirasi bagi ibukota provinsi lain. Begitulah harapan kami selaku anggota DPRD Provinsi Riau Daerah Pemilihan Kota Pekanbaru.
Meski kenyataan berkata lain. Pekanbaru dibully mulai judul di halaman depan media cetak lokal hingga nasional dan jagad sosial media. Sampai-sampai dipertanyakan “madani”-nya, yang secara makna bermakna beradab (civilized). Sementara onggokan sampah jelas tak masuk kriteria beradab. Tak beradab iya.
Pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru sebenarnya pernah berada di fase pantas dibanggakan. Bahkan meraih Piala Adipura selama tujuh tahun berturut-turut dibawah nahkoda saudara Herman Abdullah.
Sebenarnya warisan kebijakan masa lalu yang masih efektif dan baik hendaknya diteruskan saja. Bila dipandang perlu lakukan modifikasi untuk lebih baik. Kebiasaan mengganti ke pendekatan baru sampai mempertaruhkan “marwah” yang pernah dimiliki Kota Pekanbaru yakni penghargaan justru bukan opsi bijak. Tulisan ini tak bermaksud membuat sosok Pimpinan Kota Pekanbaru makin terpojok. Anggap saja reminder perlunya menjaga kebijakan yang berkesinambungan.
Dari realita yang terjadi di lapangan pola permasalahan sampah di Kota Pekanbaru rutin terjadi di waktu tertentu terutama awal tahun. Informasinya, pengelolaan sampah Kota Pekanbaru sekarang terbagi menjadi tiga zona. Ada dua zona yang dikelola pihak ketiga dengan sistem kontrak dan satu zona dikelola secara langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). Hanya zona kontrak saja yang terkendala.
Dimana ketika berakhirnya kontrak maka mulailah sampah menggunung dimana-mana akibat “kontraktor” belum bekerja sebagaimana biasa. Dari sini jelas, bahwa sistem tersebut perlu dievaluasi.
Jebakan
Mengatasi permasalahan sampah bukan kerja Pemerintah Daerah (Pemda) saja. Namun tugas bersama. Isu A sampai Z tentang sampah mesti diawali dan diakhiri dengan semangat kolektivitas. Pemda, masyarakat dan swasta berperan.
Di sisi Pemko Pekanbaru hindari berpikir linier dan terperangkap rutinitas pengumpulan sampah. Sah-sah saja Pemko menargetkan perolehan retribusi dari sampah sampai bermilyar. Namun jangan jadi tujuan. Pola pikir tadi justru menjebak dan membuat Pemko terjerembab dalam lubang jebakan sampah. Ngomong-ngomong sekarang sudah terbukti kewalahan.
Permasalahan sampah perlu dieksekusi dengan pendekatan yang holistik, sistematis dan bersinergi. Sekali lagi, hanyut dalam rutinitas mengumpulkan sampah dan memikirkan retribusi sampah bisa melenakan Pemda.
Masyarakat pun akan konsisten menghasilkan sampah tanpa batas. Sikap abai terhadap sampah justru yang paling pantas dikhawatirkan. Warga yang sudah bayar retribusi merasa bebas hasilkan sampah sebanyak apapun. Dari data yang didapat, produksi sampah di Kota Pekanbaru tiap hari bisa mencapai 1.000 ton. 800 ton diantaranya dibuang langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muara Fajar. Sisanya entah kemana. TPA pastinya punya batas daya tampung. Parahnya sampah yang terus terkumpul tidak berbanding lurus dengan kemampuan daur-ulang atau mengelola. Akibatnya tumpukan makin menggunung sementara agenda dan roadmap mengurangi dan mengelola sampah jangka panjang belum jelas seperti apa.
Isu sampah tidak dialami Pemko Kota Pekanbaru saja, tapi Kabupaten/Kota lainnya punya pengalaman serupa. Maka Pemda perlu berpikir dan bertindak pre emptive. Menangani sampah harus ada pendekatan mulai kampanye kognisi dan perilaku agar masyarakat sadar urgensi mengurangi produksi sampah dan kepedulian terhadap lingkungan.
Di level Provinsi Gubernur Riau sudah menginisiasi rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengelolaan sampah guna menekan penggunaan plastik di Provinsi Riau. Selain itu, ide lain perlu direalisasikan segera untuk jangka panjang yakni sinergitas wilayah/antar kawasan seperti Pekanbaru, Siak, Kampar dan Pelalawan (Pekansikawan).
Dimana diantara misinya mengatasi persoalan sampah antar kawasan. Baik itu transfer pengetahuan dan sinergitas pengelolaan, juga rekayasa lainnya agar tidak terjadi penumpukan populasi penduduk yang ujungnya menghasilkan sampah tak terkendali.
Cegah
Pendekatan pengelolaan sampah yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana mereduksinya. Cara-cara lawas perlu diseriusi. Selain kampanye kognisi di atas, program seperti Bank Sampah dan bentuk pengelolaan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) juga efektif. Kegiatan pun bisa bernilai ekonomi. Agar berdampak masif perlu diperkuat melalui pemberdayaan oleh Pemda dan menggandeng swasta atau dunia usaha melalui Coorporate Social Responsible (CSR).
Tinggal bagaimana memberi insentif kepada sektor usaha dan swasta yang mendukung pengelolaan sampah jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Pendekatan pengelolaan sampah bernilai ekonomi juga membantu program pemulihan ekonomi di tengah wabah. Memunculkan sektor usaha baru yang dapat ditekuni secara individual atau warga dalam jumlah terbatas.
Terakhir, sampah akan selalu ada. Tapi dengan mengendalikan kuantitas diyakini akan membantu Pemda mengatasi sampah di wilayahnya. Kuncinya keinginan kuat dan roadmap. Untuk lingkup Pemko Pekanbaru, isu sampah harus lintas sektoral. Pola seperti era kepemimpinan Herman Abdullah dipandang efektif.
Setiap Satker/Badan di lingkungan Pemko bertanggungjawab mengurus sampah di unit kerjanya. Selain rutinitas sampah, masing-masing Satker/Badan perlu mengintegrasikan isu sampah dalam program kegiatan sesuai kewenangan. Misal Dinas Pendidikan menyadarkan kepedulian terhadap sampah sejak dini melalui sekolah. Begitu seterusnya sektor lain. Kita tidak boleh berleha-leha soal sampah. Karena dampaknya bukan tumpukan tak enak dipandang mata saja. Tetapi bau dan kotor bisa menimbulkan penyakit. Berikut musibah lain yang patut diwaspadai semisal banjir.