Oleh: Sofyan Siroj*
September punya sejumlah kenangan istimewa bagi Provinsi Riau. Diantaranya 2 September yang baru saja kita lewati. 35 tahun silam di tanggal sama (2 September 1985) terjadi peristiwa menggemparkan yang mengundang sorotan media massa nasional, lokal bahkan sampai ke telinga jurnalis asing yang turut mem-blowup pemberitaan lebih masif.
Momen tersebut terkait pemilihan Gubernur Riau periode 1985-1990. Ada tiga nama mencuat dalam proses pemilihan calon gubernur, yakni Imam Munandar berstatus incumbent, Ismail Suko dan Abdul Rachman Hamid.
Ketiga nama tokoh punya reputasi hebat. Dari kandidat tersebut, Imam Munandar paling diunggulkan menimbang secara politis calon yang didukung pemerintah pusat dan juga berasal dari Fraksi ABRI.
Maka tak heran di atas kertas Imam Munandar diprediksi bisa keluar sebagai jawara dari proses pemilihan di lembaga legislatif Riau. Apalagi komposisi kursi DPRD Riau terdiri dari Golkar 25 kursi, PPP 8 kursi, 1 mewakili PDI dan ABRI 6 kursi.
Namun yang terjadi justru diluar prediksi. Kandidat unggulan pusat meraih 17 suara, sedangkan calon semula tidak difavoritkan yakni Ismail Suko memperoleh kemenangan dengan berhasil meraup 19 suara. Adapun calon lain Abdul Rachman Hamid meraih 1 suara.
Sesuatu yang langka terjadi saat itu. Calon unggulan pusat berlatarbelakang military connection pula, tapi kalah dari calon non-unggulan tokoh daerah. Peristiwa ini jadi perbincangan berbagai kalangan. Mulai politisi, pemerintahan, akademisi, pengamat dan lapisan masyarakat.
Ekspos media membuat kabar makin meluas. Kontestasi tersebut tentu bukan tanpa isu miring. Berbagai tuduhan muncul menganggap terpilihnya Ismail Suko bukti pembelotan unsur daerah terhadap pusat. Dari sisi politik saat itu benar adanya. Tetapi dari sisi lain, proses yang telah berlangsung adalah pondasi demokrasi yang menginspirasi luar Riau. Suasana pemilihan suara pun berlangsung terbuka dan demokratis.
Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) saat itu Tojiman Sidikprawiro sebagai penanggungjawab pelaksanaan mengatakan proses berlangsung sah, meski dalam pemilihan ada beberapa anggota berhalangan hadir.
Mengulangi Sejarah
Ada sejumlah pelajaran dari penggalan sejarah tersebut. Dalam konteks dan situasi 2 September 1985, “pembangkangan” unsur Riau dengan memillih kandidat di luar kehendak pusat termasuk “dosa” yang sulit diampuni. Tapi mereka berani mengambil resiko, menawarkan revitalisasi dan pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara; Mengajarkan pusat lebih hati-hati memilih calon unggulan; dan paling utama menuntut arah baru keterbukaan dan kemauan mendengarkan suara daerah.
Di era sentralisasi jelas tindakan tersebut sangat nekat. Namun ikhtiar politisi pemberani Riau, selain mereformasi sistem yang berlaku juga memberi pelajaran bagi kandidat yang diunggulkan dan direstui pusat agar jangan jumawa dan anggap enteng rivalnya.
Di sisi lain, “panasnya” atmosfir plus di bawah sistem sentralisasi ternyata tidak berimplikasi sosial yang destruktif. Bahkan suasana tertib di level masyarakat masih terjaga dan jauh dari unsur-unsur kekerasan dan represif. Seakan kejadian “wah” yang berlangsung bak peristiwa biasa.
Inilah sepotong wajah demokrasi masa lalu dari Riau yang bernilai luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di masanya, sekarang dan akan datang. Selain pelajaran di atas, melihat perkembangan saat ini, jelas sejarah tadi modal berharga dalam rangka mewujudkan cita-cita dan mimpi kesejahteraan dan kemajuan bagi Riau.
Peristiwa 5 September 1985 sumbangsih Riau paling berharga dalam perkembangan sejarah demokrasi dan reformasi di Indonesia. Riau menjadi role model berpengaruh di masa itu. Dengan kesungguhan niat dan tindakan dari para tokoh dan politisi Riau yang mau bersatu demi kepentingan daerah meski masing-masing berasal dari warna politik berbeda. Mereka berani membebaskan estafet kepemimpinan dari kekangan absolutisme kekuasaan.
Kondisi Riau Saat Ini
Kita yang hidup sekarang pantas malu. Apalagi berkaca kepada momen kehidupan berpolitik dewasa ini yang terkesan mundur dari cita-cita reformasi. Kentalnya hasrat untuk kembali ke gaya era sentralisasi dan menguatnya dinasti politik berkedok demokrasi, satupun tak pantas dibanggakan.
Narasi peristiwa 2 September 1985 bisa dibilang cikal bakal lahirnya gerakan menuntut keadilan dan perhatian lebih baik bagi daerah yang buahnya menuntut pusat untuk memandirikan daerah melalui pembagian kewenangan dalam kerangka otonomi daerah.
Untuk Riau, resonansi tuntutan keadilan dan perhatian lebih baik terkait pembangunan hingga kini masih terus bergema, seiring belum sepadan dengan kontribusi yang diberikan Riau dari Sumber Daya Alamnya. Namun sayangnya hingga kini kemajuan Riau dirasa masih belum signifikan.
Maka spirit dari peristiwa 2 September 1985 adalah jawabannya. Karena Riau punya gen yang mengakar dalam sejarah sebagai salah satu provinsi terdepan dan menjadi role model bagi daerah lain.
Kuncinya bagaimana para tokoh dan politisi daerah mau bersatu ketika bicara kepentingan Riau, mematahkan ego dan “warna” kelompok khususnya di level kepemimpinan dan politisi. Dengan komunikasi dan kemitraan antara eksekutif dengan legislatif lebih baik serta adanya gerakan yang terintegrasi dengan wakil Riau di pusat dan jalinan koalisi politik yang produktif.
Inilah prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengulangi sejarah emas Riau. Peristiwa 2 September 1985 yang telah dicatat tinta emas sejarah. Sekarang pertanyaannya apakah estafet itu terhenti di masa mereka?.
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau | Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.