BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Riba, ternyata bukan istilah baru, karena sudah ada sejak jaman jahiliyah. Intinya, transaksi jual beli dan mengadakan perbuatan hutang piutang jika tidak teliti, maka transaksinya dikategorikan riba. Lalu, apa saja barang-barang yang dikagorikan sebagai barang-barang ribawi itu?
“Secara bahasa, riba itu artinya positif. Dalam bahasa Arab disebut ziyadah artinya menambah/tambahan. Karena yang namanya menambah kan sepintas maknanya positif,” jelas Dr. Marabona, ME, Sy, pakar kajian Riba alumi program doctoral dari Unpas Bandung (2018) pada Jumat, 26 Juni 2020, di Kampus STIE Prakarti Arifin Achmad Pekanbaru.
“Adapun secara istilah baru jelas, menjadi tambahan yang ditetapkan dalam transaksi utang piutang (dalam hal uang) ataupun transaksi jual beli, dengan melanggar ketentuan syariat. Maka di sinilah penekanan riba itu menjadi negatif,” ujarnya.
Pembagian Riba
Pembagiannya kata Marabona, ada pada golongan utang piutang (qardh), dan jual beli (buyu’). Istilah ini terdapat dalam fiqh muamalah. Riba jual beli hanya terjadi pada transaksi barang dengan barang yang dikelompokkan Rasulullah sebagai barang-barang ribawi. Jika satu barang ditransaksikan sesama barang itu, lalu ada tambahan yang ditetapkan, maka terjadilah riba.
Seperti dhahab atau emas, jika ditransaksikan antara emas dengan emas, namun meminta tambahan walaupun telah disepakati (misalnya 1 gram emas dengan 1 gram emas plus tambahan beberapa gram).
Kedua fiddoh, atau disebut juga sebagai perak, kemudian ada qamah atau gandum. Namun gandum yang disebut oleh nabi, atau bisa jadi dianalogikan sebagai makanan pokok. Berikutnya ada alnakhla atau korma. Lalu ada eanab anggur, dan juga milh atau garam.
Namun kalau transaksi itu berbeda, misalnya berapa gram emas ditukar dengan berapa kilo gandum, “Kata nabi, berjualbelilah sesuai dengan sepadan,” kata Marbona mengutip nukilan sebuah hadist, maka tidak masuk dalam kategori riba. Makanya jual beli harus sesuai kesepakatan yang sepadan. Sedang transaksi 1 gram emas dengan 1 gram perak itu tidak sepadan, katanya mencontohkan.
Sementara jika uang dengan uang, itu sudah masuk kategori ribawi. Misalnya, tukaran uang Rp 5000 dengan Rp 100.000, namun jumlah tukarannya hanya Rp. 90.000, ini tidak boleh. “Uang bukanlah komoditas yang diperjualbelikan,” tutup Marabona tegas. (bpc5)