BERTUAHPOS.COM – Otoritas keimigrasian Filipina telah mengungkap skema tipu muslihat yang rumit terkait perdagangan perempuan Filipina ke Tiongkok dengan menggunakan kedok pernikahan. Diduga, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini terkait dengan jaringan kejahatan terorganisir.
Baru-baru ini, South China Morning Post melaporkan bahwa seorang perempuan Filipina dicegat ketika mencoba meninggalkan Filipina bersama seorang warga negara Tiongkok yang menyamar sebagai pasangannya, dengan membawa surat nikah yang tampaknya asli. Pasangan tersebut dalam perjalanan menuju Shenzhen.
Komisaris Norman Tansingco dari Biro Imigrasi Filipina mengatakan, “Ini jelas merupakan kasus dari skema pengantin pesanan yang muncul kembali baru-baru ini.”
Meskipun pasangan tersebut memperlihatkan surat nikah yang sah dari Filipina, perbedaan dalam laporan mereka menimbulkan kecurigaan.
Perempuan tersebut mengaku membayar sejumlah besar uang untuk pengadaan dokumen tersebut, melebihi rata-rata pendapatan bulanan di Filipina.
Insiden serupa terjadi pada bulan Februari, dimana seorang perempuan Filipina dilarang berangkat bersama seorang lelaki Tiongkok yang mengaku sebagai pasangannya.
Meskipun surat nikah mereka tampak sah, pemeriksaan terhadap riwayat perjalanan pria tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan.
Biro Imigrasi yang telah mencegat empat pasangan tahun ini menyatakan keprihatinan atas kemampuan para pelaku TPPO mendapatkan dokumen asli.
Investigasi telah dimulai untuk mengetahui bagaimana sertifikat ini diterbitkan, dan mendesak penyelidikan lebih lanjut oleh Departemen Kehakiman dan Dewan Antar-Lembaga Anti Perdagangan Manusia.
Nathalie Africa-Verceles dari Universitas Filipina menyoroti bahwa sifat sah dari dokumen pernikahan menyiratkan keterlibatan kejahatan terorganisir, sementara Ross Tugade, seorang pengacara hak asasi manusia, mengakui tantangan yang dihadapi aparat hukum dalam mendeteksi kasus TPPO, termasuk modus pernikahan palsu.
Filipina telah menerapkan Undang-undang Anti-Perdagangan Manusia, tetapi implementasi efektif undang-undang ini tetap menjadi tantangan.
Menurut Africa-Verceles, kebutuhan ekonomi dan kurangnya kesadaran di kalangan perempuan mengenai undang-undang ini menimbulkan tantangan tambahan, terutama bagi mereka yang menjadi pengungsi internal.***