BERTUAHPOS.COM, PEKANBARUÂ – Dalam sejarah perjuangan Indonesia, kekejaman seorang Westerling sudah menjadi legenda.
Pentolan Korps Specialle Troepen (KST) Belanda ini disebutkan sudah membunuh 40.000 warga sipil di Sulawesi Selatan, puluhan TNI di Bandung, dan tak terhitung jumlahnya di Rengat (meski yang melakukannya adalah kaki tangan Westerling, Letnan Rudy de Mey).
Dilansir dari Historia.id, tahun 1950, TNI mulai memburu Westerling, yang dianggap sebagai penjahat perang. Namun, perburuan ini gagal, dan Westerling berhasil lolos kembali ke Belanda.
Namun, Westerling ternyata pernah kesulitan menghadapi seorang prajurit TNI. Namanya Mayor Soegih Arto, komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot, Brigade Guntur, Divisi Siliwangi. Tak seperti pasukan lain, Batalyon 22 Djaja Pangrerot selalu berhadapan langsung dengan KST (pasukan khusus Belanda) pimpinan Westerling.
Periode perang kemerdekaan 1947-1949, pasukan Mayor Soegih Arto tak pernah membuat KST tenang. Mereka selalu melakukan penghadangan, bahkan menyerang langsung ke markas KST.
Suatu malam di bulan Juli 1948, pasukan Batalyon 22 Djaja Pangrerot menyerang markas KST di Batujajar, Bandung (kini jadi Pusdikpassus).
Serangan mereka membuat pasukan KST panik. Namun, karena mereka adalah pasukan khusus, mereka berhasil menyusun kekuatan dan berbalik menyerang pasukan Mayor Soegih Arto. Meski demikian, penyerangan ini berhasil membunuh beberapa prajurit KST, dan senjatanya dirampas.
Sebelum mengundurkan diri, salah satu pejuang sempat membuat coretan dinding berbunyi ‘Inilah gajah Soegih Arto! (Gajah merujuk ke lambang Batalyon 22).
Mayor Soegih Arto menjadi sangat terkenal di kalangan pasukan KST. Westerling juga tak main, kepala Mayor Soegih Arto diincar, hidup atau mati.
Pasukan KST terus memburu, dan dalam prosesnya, mereka tak segan melakukan aksi pembersihan ke penduduk desa. Laki-laki dibunuh, dan perempuan diperkosa.
Batalyon 22 tak tinggal diam. Mereka juga menargetkan kepala Westerling. Pernah mereka mengincar sebuah jeep, yang menurut informasi dinaiki Westerling. Mereka menghancurkan jeep tersebut, namun pengemudinya bukan Westerling, melainkan letnan KNIL.
Aksi saling buru ini terus berlanjut, hingga akhirnya Westerling mengirimkan surat ke Mayor Soegih Arto. Dia meminta perundingan, dengan jaminan KST tak akan lagi membunuh penduduk. Mayor Soegih Arto menolak.
Hingga Indonesia mendapatkan pengakuan Belanda, Mayor Soegih Arto tak berhasil ditangkap Westerling, pun sebaliknya. (bpc2)