بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, pada momen Isra Mi’raj tahun ini, akan kita telaah tentang perhitungan amal manusia.
Sehubungan dengan hal itu, Allah SWT pada hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak akan menghitung semua amal perbuatan manusia.
Allah SWT berfirman:
وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ۞
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan”. (Q.S. Al-Anbiya: 47)
Ayat tersebut menjelaskan secara detil bahwa setiap manusia ditetapkan oleh Tuhan apakah ia menjadi penghuni surga ataukah neraka setelah perhitungan amalnya. Jika timbangan amal kebaikannya lebih berat dari keburukannya, maka ia masuk surga. Sebaliknya, jika timbangan amal keburukannya lebih berat dari kebaikannya, maka ia masuk neraka.
BACA JUGA: Tidak Ada Hal yang Tidak Mungkin bagi ALLAH ﷻ
Namun demikian, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa ada manusia-manusia istimewa yang menjadi penghuni surga namun tanpa melewati proses perhitungan amal perbuatannya, alias tanpa hisab. Begitupun penghuni neraka, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa ada di antara mereka yang tanpa proses perhitungan amal perbuatannya, alias bighairi (tanpa) hisab.
Jadi, untuk menjadi ahli surga, harus melalui dua proses; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab). Demikian juga ahli neraka, mereka harus melewati dua proses juga; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab).
Ahli Surga Tanpa Hisab
Mengenai golongan orang-orang yang akan dimasukkan ke surga tanpa hisab, alias tanpa perhitungan amal, akan kita ulas satu persatu berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam Kitab-kitab klasik.
Di suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي اْلإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللّٰهِ وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيْهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ، فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ، ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ .
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda: ‘Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya: “Itu adalah Musa dan kaumnya”. Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya: “Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.”
Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya, ‘Siapakah gerangan mereka itu?’ Ada diantara mereka yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.’ Ada lagi yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.’ dan menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda: ‘Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah (pengobatan dari terkena sihir, santet, teluh, gendam, dan sejenisnya dengan cara rajah atau bacaan-bacaan yang mengandung mantra), tidak meminta di kay (pengobatan luka dengan besi panas) dan tidak pernah melakukan tathayyur (tidak memvonis nasib sial karena melihat burung) serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.
Lalu Ukasyah bin Mihshan berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: ’Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ’Kamu sudah didahului Ukasyah’.”
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga ada bersabda:
وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْخُلُ أَرْبَعَةٌ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ : الْعَالِمُ الَّذِيْ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ، وَمَنْ حَجَّ وَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ حَتَّى مَاتَ، وَالشَّهِيْدُ الَّذِىْ قُتِلَ فِى الْمَعْرَكَةِ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ الْاِسْلَامِ، وَالسَّخِيُّ الَّذِيْ إِكْتَسَبَ مَالًا مِنَ الْحَلَالِ وَأَنْفَقَهُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ رِيَاءٍ، فَهَؤُلَاءِ يُنَازِعُ بَعْضَهُمْ بَعْضًا أَيُّهُمْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَوَّلًا .
“Dan Nabi SAW bersabda: ketika hari kiamat datang ada empat orang yang akan masuk surga tanpa hisab (yaitu) orang alim yang mengamalkan ilmunya, orang berhaji dan dia tidak berkata-kata keji dan berbuat fasik sampai dia meninggal, tentara yang gugur mati syahid dalam medan pertempuran dalam menegakkan kalimat Islam, dan orang yang dermawan yang membelanjakan hartanya kepada yang halal dan menafkahkannya di jalan Allah tanpa diikuti sikap riya’. Mereka saling berbantah-bantahan siapa yang pertama memasuki surga”. (Kitab Mukasyafah Al-Qulub karya Imam Ghazali hal. 65)
Kemudian, Rasulullah SAW juga mengatakan dengan jelas bahwa 10 orang sahabat beliau masuk surga dengan tanpa menyebutkan syarat hisab:
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf, Rasulullah SAW bersabda:
أَبُوْ بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ بْنِ أَبِيْ وَقَاصٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيْدٌ بْنِ زَيْدٍ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُوْ عُبَيْدَةٍ بْنِ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ .
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqas di surga, Sa’id bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan An-Nasai).
Dari tiga redaksi hadits di atas dapat diambil kesimpulan tentang kriteria masuk surga tanpa hisab, golongan orang-orang yang termasuk dalam kriteria tersebut, hingga para Nabi yang membawa serta umatnya dengan jumlah yang beraneka bilangan.
Adapun tentang kriteria ahli surga tanpa perhitungan (bighairi hisãb) adalah mutlak menjadi hak Allah SWT melalui rahmat-Nya. Sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ .
“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (H.R. Muslim).
Tentunya, hak mutlak Allah SWT tidaklah mungkin memunculkan kesewenang-wenangan. Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya dan tidak mungkin berbuat dzhalim kepada hamba-Nya. Karena itulah, perhitungan amal perbuatan manusia (hisãb) menjadi dasar yang paling sederhana untuk menentukan seseorang menjadi ahli surga ataukah ahli neraka.
Ada seseorang yang seolah-olah terlihat sedikit kebaikannya, namun di antara amal baik yang sedikit itu terdapat perbuatan yang bernilai sangat besar dan sangat berarti bagi makhluk lain menurut penilaian Allah SWT. Perbuatan yang seolah sedikit implementasinya dalam pandangan manusia namun bernilai besar di hadapan Allah SWT adalah sikap tawakkal. Apa itu tawakkal?
Tawakal berasal dari kata وكل (wakala) yang berarti menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan suatu urusan kita kepada orang lain. Dalam kaitan ini penyerahan tersebut adalah kepada Allah SWT. Tujuannya, untuk mendapat kemashlahatan dan menghilangkan kemudharatan.
Secara istilah arti tawakkal adalah menyerahkan suatu urusan kepada kebijakan Allah SWT, yang mengatur segalanya-galanya. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT adalah salah satu perkara yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT dilakukan oleh seorang muslim apabila sudah melaksanakan ikhtiar (usaha) secara maksimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.
Tawakkal dilaksanakan setelah manusia melakukan ikhtiar dengan maksimal. Karena itu, tawakkal kepada Allah SWT tidak dibenarkan apabila belum melaksanakan usaha semaksimal mungkin. Demikian juga tawakkal yang ditujukan kepada selain Allah SWT termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi oleh setiap orang yang beriman.
Allah SWT berfirman:
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۞
“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah [5]:23)
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia dikatakan beriman apabila sudah bertawakkal kepada Allah SWT. Dalam ayat lain, Allah SWT juga ada berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۚ إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ۞
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]:159)
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia akan disukai oleh Allah SWT bila bertawakkal kepada-Nya setelah melaksanakan usaha dengan maksimal.
Hanya saja, bagaimana Allah SWT menilai sifat-sifat tawakkal seorang hamba, itulah yang tak mungkin secara detil dapat diketahui oleh hamba yang lain, kecuali Allah anugerahkan kepadanya pengetahuan akan hal itu. Mengapa sikap tawakkal dinilai sangat besar?
Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan melahirkan sifat-sifat syukur, sabar, ikhlas, qana’ah, amanah, jujur, empati, dst. Lalu bagaimana sifat-sifat tersebut ditunjukkan dalam perbuatan dan realitas kehidupan sehari-hari? Inilah realitas yang tak selalu sama antara manusia yang satu dengan yang lain, sehingga tak bisa digeneralisir dalam pandangan (perspektif) manusia sendiri. Kriteria itu hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Hanya Allah SWT sajalah yang rinci, detil dan adil dalam perhitungan-Nya.
Kemudian Rasulullah SAW diperlihatkan oleh Allah SWT tentang hamba-hamba-Nya yang akan menjadi penghuni surga tanpa hisab dan ‘adzab. Penglihatan Rasulullah SAW itu adalah dengan pandangan ‘ainul bashirah, yang tidak diberikan oleh Allah SWT kepada sembarang hamba.
Sifat tawakkal adalah sifat shamadiyyah (bersandar atau bergantung kepada Allah SWT) yang dimulai dari kriteria tauhîd (‘menyatu’ kepada Allah SWT). Tauhid bukanlah menyatakan atau menjadikan Allah itu Esa. Tauhid itu adalah sebuah sikap aktif seorang hamba yang dimulai dari kesadaran akan ke-Esa-an Allah SWT.
Jadi, segala sesuatu yang menjadi tujuan dan rujukannya hanyalah Allah SWT. Seseorang yang ketika melakukan perbuatan apapun di dunia ini dimulai dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah. Tentunya didahului dengan pengetahuan mumpuni tentang baik buruknya perbuatan (tamyîz).
Dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah adalah manifestasi dari kalimat lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Biasanya kalimat itu digandeng dengan sebuah pernyataan bertawakkal kepada-Nya, yakni:
بِسْمِ اللّٰهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Bismillãhi tawakkaltu ‘alallãhi wa lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm
“Dengan Nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Biasanya, kalimat tersebut dipakai sebagai doa untuk keluar rumah. Namun demikian, doa tersebut bukanlah semata-mata ucapan, tapi lebih dalam dari itu. Pemahaman, kesadaran dan penghayatan terdalamnya dapat menjadi “penyapu bersih” dari segala sesuatu yang mengotori kesucian sifat tawakkal. Dengan kesadaran itu, akhirnya doa tersebut bisa dipakai untuk melakukan setiap perbuatan baik. Apalagi ketika sedang menghadapi bahaya, tekanan, himpitan dan kondisi-kondisi kehidupan yang berat.
Demikian penjelasan tentang bagaimana tawakkal yang didasari tauhid bisa menjadi penentu akan nilai sebuah perbuatan, sehingga ia menjadi kriteria untuk menjadi penghuni surga tanpa hisab. Wallãhu a’lamu bish-Shawãb.
Semoga kita termasuk golongan yang dikriteriakan tersebut, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Ahli Neraka Tanpa Hisab
Jika ada ahli surga tanpa proses perhitungan amal (bighairi hisab), maka ada juga orang yang masuk neraka tanpa proses perhitungan (bighairi hisab).
Rasulullah SAW memberikan kriteria tersebut melalui sabdanya:
سِتَّةٌ يَدْخُلُوْنَ النَّارَ قَبْلَ الْحِسَابِ بِسِتَّةٍ . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْكَ، مَن هُم؟ قَالَ : اَلْاُمَرَاءُ بِالْجَوْرِ، وَالْعَرَبُ بِالعَصَبِيَّةِ، والدَّهَاقِيْنُ بِالْكِبْرِ، وَالتُّجَّارُ بِالْخِيَانَةِ، وَأَهْلُ الرُّسْتَاقِ بِالْجَهَالَةِ، وَالْعُلَمَاءُ بِالْحَسَدِ . (رواه الديلمي من حديث ابن عمر وأنس)
“Ada enam golongan orang yang akan masuk neraka sebelum hisab”. Ada yang bertanya: “wahai Rasulullah shallallãhu ‘alaika, siapa saja mereka itu?”. Rasulullah SAW bersabda: “Umara yang dzhalim (1), orang Arab yang rasis atau berbuat mementingkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) (2), penguasa kecil yang merasa besar (sombong) (3), pengusaha yang berdagang dengan khianat (curang) (4), orang awam yang bodoh dalam masalah agama (ahlur rustaq) (5), dan ulama yang punya hati dengki (hasad) (6).”
Ada enam kelompok manusia yang akan masuk neraka tanpa melalui proses penghitungan amal ibadah (bighairi hisab). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kedzaliman di dunia dan selalu merugikan banyak orang. Mereka bukan tidak mengerjakan amal ibadah yang diwajibkan dan amalan-amalan sunnah yang lain. Namun, amal ibadah yang mereka kerjakan sulit untuk mengalahkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.
Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhãj al-‘Ãbidîn, keenam kelompok orang itu (seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dailamiy) adalah:
Pertama, pemimpin yang dzalim. Mereka adalah pemimpin yang tidak amanah di saat memegang jabatan. Jabatan yang dimiliki digunakan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umat.
Padahal, dalam pandangan Islam, jabatan merupakan sebuah amanah yang besar. Pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia melainkan juga kepada Allah SWT. Itulah mengapa para sahabat enggan untuk memegang jabatan sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa jenazah Rasulullah baru dimakamkan tiga hari setelah beliau wafat. Ini disebabkan para sahabat menunggu siapa pemimpin sesudah Rasulullah.
Kedua, fanatisme golongan. Mereka memiliki rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sebuah kelompok atau golongan. di Indoenesia, orang-orang tersebut disebut mementingkan dan melanggar SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Apa pun akan mereka lakukan asalkan demi golongannya. Mereka berjuang bukan untuk mencari ridha Allah SWT, melainkan untuk kepentingan golongan. Ketika umat Islam didzalimi mereka tidak beraksi tapi kalau kelompok mereka diganggu dan dianiaya mereka berjuang habis-habisan untuk membela kelompoknya.
Ketiga, penguasa kecil (pemimpin desa/daerah) yang mempunyai kesombongan besar. Terkadang kita jumpai di masyarakat bahwa pemimpin-pemimpin daerah justru ingin diperlakukan dengan istimewa bahkan terkadang melebihi pemimpin yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Mereka sombong dengan jabatan yang dikuasai. Padahal yang berhak sombong tidak lain adalah Allah SWT.
Keempat, pengusaha yang khianat (curang). Segala bentuk usaha yang dilakukan bertentangan dengan apa yang sudah ditentukan dalam Islam. Usahanya menggunakan cara-cara tidak terpuji seperti menipu.
Kalau ia seorang pedagang buah, di atas keranjang buah selalu ditempatkan buah-buah yang masih baru dan segar tetapi di bagian bawah, buahnya dalam keadaan jelek bahkan ada yang busuk. Islam pun melarang setiap pedagang untuk mengurangi timbangan karena dengan berbuat itu akan merugikan konsumen.
Kegiatan menimbun barang juga merupakan perbuatan yang ditentang dalam ajaran Islam. Alasannya, kegiatan itu biasanya digunakan untuk meresahkan masyarakat akibat mahalnya harga barang. Tindakan itu merugikan masyarakat.
Kelima, orang awam karena kebodohannya dalam masalah agama. Mereka hanya ikut-ikutan dengan sekelompok orang yang mereka anggap benar. Akibatnya, mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Di dalam Al-Quran, Allah SWT menjelaskan, akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Karena itu, mencari ilmu dalam Islam juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Keenam, ulama yang mempunyai hati dengki. Ulama menurut arti bahasa adalah orang yang berilmu. Setiap ilmu yang dimiliki harus digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan individu ataupun kelompok. Bukan pula untuk mencari popularitas dan persaingan dalam hal banyaknya jama’ah.
Biasanya, penyebab ulama memiliki hati dengki adalah dalam hal popularitas dan berbanyak-banyakan jama’ah atau pengikut. Antar-ulama saling dengki karena iri hati dengan popularitas dan jumlah jama’ahnya. Ulama semacam ini akan dimintai pertanggungjawaban yang lebih berat dari yang bukan ulama dalam hal sifat dengki (hasad). Dan, pastinya ilmu yang dimilikinya juga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.
Apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dikriteriakan sebagai penghuni neraka, apalagi neraka tanpa hisab, na’ûdzu billãhi min dzãlik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu), âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
_____________
Oleh: Dr. Supardi, SH., MH.,
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa
Source: Dihimpun dari berbagai sumber