BERTUAHPOS.COM — Permendag, atau Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, awalnya dituding menjadi penyebab runtuhnya industri tekstil domestik.
Tudingan itu datang dari pemilik PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, Iwan S. Luminto. Dia mengatakan Permendag itu sebagai “pemicu utama untuk kebangkrutan industri tekstil Tanah Air.” Namun, itu tak sepenuhnya akurat, kata Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus.
“Aturan ini bukan satu-satunya penyebab di balik runtuhnya industri tekstil nasional,” katanya, seperti dilansir dari Inilah.com, Kamis, 31 Oktober 2024.
“Kita perlu melihat berbagai masalah yang telah lama menumpuk di sektor tekstil, seperti persaingan dengan produk impor murah dan manajemen internal perusahaan,” ungkap Firdaus.
Firdaus juga menambahkan, pengendalian impor bisa melindungi produsen dalam negeri, tetapi tetap menjadi tantangan bagi perusahaan yang masih bergantung pada bahan baku impor.
Ia menekankan bahwa penting untuk tidak menjadikan Permendag 8/2024 sebagai kambing hitam, melainkan memandang kebangkrutan sektor ini secara lebih luas.
Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, juga menyoroti bahwa tantangan yang dihadapi industri tekstil bukan hanya soal regulasi, tetapi juga masalah klasik yang belum teratasi, seperti tingginya biaya energi dan bahan baku yang mengurangi daya saing.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan subsidi energi atau insentif lain agar produsen tekstil domestik dapat bersaing lebih baik di pasar global.
“Tidak adil jika Permendag 8/2024 dianggap sebagai penyebab utama runtuhnya Sritex. Industri tekstil nasional memang tengah menghadapi berbagai tantangan berat, termasuk biaya produksi yang tinggi,” jelas Achmad.
Ia menambahkan, di negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi lebih rendah, membuat produk mereka lebih kompetitif di pasar global.
Pemberian subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil, menurutnya, akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan usaha yang stabil.
Achmad juga menyoroti sulitnya akses bahan baku berkualitas bagi produsen tekstil lokal. Banyak perusahaan tekstil di Indonesia terpaksa mengimpor bahan baku karena kualitas bahan lokal tidak selalu memenuhi standar.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dedi Irawan, menilai tuduhan bahwa Permendag 8/2024 adalah biang kerok di balik pailitnya Sritex terlalu berlebihan. Menurutnya, kondisi keuangan Sritex sudah bermasalah jauh sebelum regulasi ini diterbitkan pada Mei 2024.
“Sulit membayangkan perusahaan sebesar Sritex bisa runtuh hanya karena aturan yang baru berumur beberapa bulan. Masalah ini lebih terkait dengan kesalahan manajemen,” kata Dedi.
Sebagai informasi, Permendag 8/2024 merupakan revisi dari Permendag 36/2023 dan berfokus pada pengendalian impor barang tekstil untuk melindungi industri lokal dari serbuan produk asing.
Permendag ini tidak terkait langsung dengan keputusan pailit Sritex oleh Pengadilan Niaga Semarang, mengingat masalah utang perusahaan sudah ada sejak 2021.***