BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Kebakaran hutan hebat 2015 tak membuat jera. Investigasi Eyes on the Forest (EoF) terkini menemukan tiga dari tujuh perusahaan pemegang konsesi HTI, yang jadi tersangka kebakaran hutan dan lahan pada 2013-2014, diduga tidak mengindahkan peraturan perlindungan dan pemulihan gambut. Apakah ini akibat lemahnya supervisi dan koordinasi pemerintah?Â
Koalisi NGO Eyes on the Forest (EoF) menyerukan semua pihak untuk serius dalam melakukan restorasi gambut. Upaya ini untuk menghindari tragedi kebakaran hutan 2015, yang menelan 100.000 jiwa kematian prematur dan merugikan negara hingga Rp221 triliun.
EoF melakukan investigasi dengan memantau tujuh konsesi HTI. Konsesi HTI yang disurvei EoF mencakup 12 persen dari total luas lahan gambut berkategori Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).Â
Tiga di antara tujuh konsesi yang disurvei EoF ini pernah menjadi tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2013 dan 2014, namun hingga kini tak satupun kasus itu naik ke pengadilan, yaitu PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Sakato Pratama Makmur (Hampar/Humus), dan PT Sumatera Riang Lestari blok 4 Pulau Rupat.
Pemantauan di lapangan yang dilakukan pada periode Juli hingga Desember 2018 mendapati kedua perusahaan raksasa bubur kertas dan kertas diduga kuat melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor 16 tahun 2017 dengan menanam akasia dan karet di atas lahan gambut yang seharusnya dipulihkan.Â
“Hampir empat tahun setelah bencana karhutla 2015, tak banyak kemajuan yang terjadi di konsesi-konsesi HTI mereka,†ujar Deputi Koordinator Jikalahari Okto Yugo, dalam siaran pers yang diterima bertuahpos.com, Selasa, 3 September 2019.Â
“Hasil investigasi kami mendapati dua raksasa industri kertas ini tidak mematuhi peraturan-peraturan terkait perlindungan dan restorasi gambut. Mereka tidak melakukan upaya yang serius dengan menanami kembali area yang telah dipanen dengan tanaman akasia, yang seharusnya dipulihkan dengan menanam spesies lokal,†tambah Okto.
Areal prioritas restorasi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) di konsesi HTI-Riau mencakup 519.471 hektar, atau lebih dari separuh total target nasional. Areal yang disurvey oleh EoF (194.874 ha) dalam laporan. Ini, merupakan bagian dari prioritas tersebut.Â
EoF melihat rendahnya capaian restorasi di konsesi HTI harus direspon dengan kerja keras, mengingat masa tugasnya BRG akan berakhir tahun depan. “Maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini, menunjukkan berkurangnya komitmen pemerintah dan korporasi dalam melindungi dan memulihkan lahan gambut di dalam maupun di luar konsesi,†tutur Direktur Eksekutif WALHI Riau, Riko Kurniawan.
Hanya beberapa minggu sebelum pemilihan Presiden dan legislatif, muncul Peraturan Menteri LHK No.10, 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut, yang merupakan kemunduran dalam komitmen untuk melaksanakan pemulihan lahan gambut paska kebakaran 2015.Â
Laporan EoF ini juga menerangkan bahwa peraturan baru tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (PP 71/2017, perubahan dari PP 57/2016) dan Peraturan Menteri mengenai restorasi gambut (P16/2017).
“Permen 10 tahun 2019 jelas-jelas sebuah kemunduran. Kehadiran peraturan menteri ini sungguh mengagetkan! Kebijakan ini memberikan peluang korporasi untuk kembali beroperasi seperti biasa layaknya sebelum tahun 2015,†kata Manajer Market Transformation, WWF-Indonesia, Nursamsu.
“Oleh karena itu, EoF meminta Presiden untuk turun tangan untuk meninjau ulang peraturan ini secepatnya karena banyaknya kontradiksi dengan peraturan sebelumnya.â€
EoF menduga bahwa peraturan baru dirancang untuk memfasilitasi korporasi kembali mengeksploitasi lahan gambut. Padahal, dalam laporan panel antar pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) yang diterbitkan pada 8 Agustus lalu disebutkan restorasi gambut sangat penting untuk menanggulangi perubahan iklim. (bpc3)