BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pemprov Riau diminta melakukan kaji ulang terhadap angka masyarakat miskin atau data kemiskinan yang diklaim turun, terutama selama masa Gubernur Riau Syamsuar.
Saat perayaan HUT Riau ke-65, Selasa, 9 Agustus 2022, Syamsuar mengeklaim angka kemiskinan di Riau membaik yakni 6,78% per Maret 2022 dibandingkan dengan bulan sama pada tahun 2021 sebesar 7,12%.
Sedangkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, persentase penduduk miskin Riau pada Maret 2022 sebesar 6,78% menurun 0,22% poin terhadap September 2021, dan menurun 0,34% poin terhadap Maret 2021.
BPS mencatat, jumlah penduduk miskin Riau pada Maret 2022 sebanyak 485,03 ribu orang, menurun 11,63 ribu orang terhadap September 2021 dan menurun 15,78 ribu orang terhadap Maret 2021.
“Pemprov itu harusnya memilih 2 hal dalam menganalisis masalah kemiskinan. Pertama, penduduk asalnya terutama di pedesaan, harus dilihat lebih jauh, ada nggak perkembangan (dari sisi perkembangan kesejahteraannya),” kata pengamat kebijakan publik M Rawa El Amady kepada Bertuahpos.com, Kamis, 11 Agustus 2022 di Pekanbaru.
Kedua, kata Rawa, harus dilakukan analisa tentang kemiskinan terhadap penduduk Riau secara keseluruhan (makro), yang mana diketahui, perpindahan penduduk antar provinsi memang sangat tinggi.
Hal ini sejalan dengan pertumbuhan industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja mumpuni di bidangnya. Sehingga mendatangkan tenaga kerja dari luar provinsi dalam jumlah banyak, lalu mengakibatkan sedikit ruang untuk pekerja lokal atau tempatan.
Data angka realisasi investasi di Riau juga diklaim tumbuh, yakni berada di peringkat ke-5 secara nasional dengan nilai investasi pada tahun 2021 sebesar Rp53 triliun lebih. Sedangkan di triwulan II tahun 2022, realisasi investasi sudah di angka Rp73% lebih atau Rp44,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 32.385 orang.
Rawa menyebut, bisa saja angka kemiskinan di Riau turun karena banyaknya pendatang dari luar provinsi yang memang dibutuhkan oleh beberapa industri. Dengan demikian, wajar secara makro angka kemiskinan di Riau turun. Tapi penduduk asal Riau itu tetap miskin, bahkan mungkin lebih miskin.
“Logika seperti ini seharusnya dipakai dalam menganalisis angka kemiskinan di Riau. Jadi kalau melihat angka kemiskinan Riau secara makro, bisa palsu angkanya,” tuturnya.
“Karena orang yang sudah kaya di tempat lain pindah ke Riau, jumlah penduduknya bertambah, jumlah tingkat pekerja trans-nya bertambah, tapi penduduk asal Riau juga tidak semakin sejahtera, atau tetap miskin, atau lebih miskin.”
Rawa menyebut, Pemprov Riau harus lebih bekerja keras dalam menentukan angka kemiskinan secara riil, bukan hanya sebatas melihat angka secara makro, apalagi Riau merupakan daerah industri berkembang, terlebih di Kota Pekanbaru.
Dia menambahkan, semakin banyak bermunculan industri-industri, maka kebutuhan terhadap tenaga kerja profesional juga semakin tinggi. Sehingga para pekerja tersebut sangat mungkin didatangkan dari daerah luar Riau, dengan skil yang lebih baik.
Kondisi ini, kata dia, akan mempengaruhi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara makro. “Tapi kesejahteraan orang asal Riau-nya bagaimana? Kalau tidak begitu melihatnya, nanti jadi palsu data-data yang diklaim itu,” tuturnya.
Di sisi lain, secara umum, kemampuan atau kualitas pendidikan di Riau tergolong masih rendah. Sehingga masyarakat Riau akan sangat sulit mengakses pekerjaan di sektor industri-industri yang didukung dengan teknologi canggih.
“Masyarakat dengan tingkat kelulusan SD di Riau masih 60% kalau nggak salah saya. Yang 60% ini industri mana yang menyerap mereka sebagai tenaga kerja, paling kalaupun ada, dengan kualitas pendidikan seperti itu tidaka akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara makro. Berbeda dengan orang yang datang dengan penghasilan yang besar,” kata Rawa.
Dia menambahkan, pasti ada studi yang lebih detail tentang penduduk asli Riau, seperti Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Akit. Dari studi tersebut sebenarnya dapat dilihat bagaimana perkembangan kesejahteraan mereka selama ini.***