Kebakaran lahan yang terjadi di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Riau, pada April 2023 , menyisakan sejumlah kejanggalan. Lokasinya dekat perusahaan, kebun sawit produktif malah tidak terbakar, luas lahan terbakar tak masuk akal, penyebab utama kebakaran karena disambar petir. Benarkah demikian?
Ratusan hektar lahan di Jalan Parit Purba, Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang kampai, Kota Dumai, terbakar.
Menurut data yang diperoleh, kebakaran lahan di kawasan ini awal mula terjadi pada 18 April 2023.
Lokasi ini dekat dengan perusahaan perkebunan sawit, PT Mutiara Naga Indonesia (MNI).
Belum diketahui apakah perusahaan ini berdiri sendiri, atau terafiliasi dengan perusahaan perkebunan lain yang lebih besar.
Jika ditelusuri lewat mesin pencari di internet, PT MNI muncul dengan alamat di Jalan Wahidin Nomor 95, Kelurahan Pandau Hulu II, Medan, Sumatera Utara. Bukan di Dumai.
Dari jalan lintas Dumai-Pakning, hanya ada satu jalan poros dari tanah, namanya Jalan Parit Purba. Mentok di ujung jalan ini adalah lokasi PT MNI.
Saat masuk ke jalan ini sudah disuguhi pemandangan kebun sawit warga. Beberapa ratus meter kemudian sudah dihadang portal.
Menurut pengakuan warga, portal ini milik perusahaan.
Kebun sawit warga dan area lahan terbakar yang lebih luas, berada di bagian dalam portal itu.
Lokasi lahan terbakar di Jalan Parit Purba, Pelintung ini, memang tidak sulit untuk diakses dengan kendaraan roda empat.
Karena ini jalan poros yang terhubung langsung ke perusahaan, diameternya cukup lega untuk dilintasi roda empat, meski masih tanah timbun.
Di lokasi ini, ada 2 jenis kepemilikan kebun sawit. Pertama, kebun sawit milik koperasi atau Kelompok Tani Parit Purba. Kedua, kebun sawit milik warga yang dikelola secara mandiri.
Pada Senin, 29 Mei 2023, Bertuahpos.com dan tim dari Jikalahari menemukan bahwa kebakaran lahan di lokasi ini cukup unik.
Sebab api hanya melahap habis semak belukar kering dan kebun sawit tidak produktif.
Sedangkan kebun sawit produktif yang juga berada di area itu, justru tidak tersentuh api sama sekali.
Dari tangkapan drone milik Jikalahari, terlihat jelas ada 2 petak kebun sawit produktif tak tersentuh api.
Sedang kebun sawit tidak produktif di kiri dan kanannya habis terbakar. Bagaimana mungkin api bisa memilah-milah lokasi?
Menurut warga, kebun sawit yang tidak terbakar itu benar-benar dijaga oleh masyarakat saat melakukan upaya pemadaman api.
“Makanya seperti itu,” kata Slamet, seorang pemilik kebun sawit di lokasi itu, saat bercerita.
Benarkah Penyebab Kebakaran Karena Disambar Petir?
Pada 18 Mei 2023, kondisi fisik Slamet sedang tidak fit. Dia lebih banyak istirahat di pondok.
Sedangkan satu anggotanya, sedang melakukan pembersihan tandan sawit di bagian belakang kebun.
Sekitar pukul 16.00 WIB, kata Slamet, cuaca agak mendung dan ada sambaran petir sangat kuat.
Terlihat anggotanya tadi, bergegas kembali ke pondok.
“Takut aku,” katanya kepada Slamet.
“Karena pegangan pisau gerek itu kan besi, jadi dia takut pas ada petir,” sebut Slamet kepada Bertuahpos.com.
Sekitar satu jam setelahnya, pukul 17.00 WIB, pemilik kebun sawit yang kebetulan berseberangan dengan kebun sawit Slamet berteriak ada kepulan asap di tengah semak belukar.
Setelah di cek, ternyata api sudah membesar dan melahap ranting-tanting serta rumput kering di area itu.
“Di situ lah awal mula titik api muncul,” jelas Slamet.
“Awalnya, api menyebar ke sekeliling, namun arahnya ke area perusahaan. Tapi, bisa dikendalikan.”
“Sedangkan api yang menjalar ke area lain semakin meluas,” tuturnya.
Slamet menuturkan, awalnya upaya pemadaman dilakukan dengan peralatan seadanya.
Upaya pemadaman terbantu setelah petugas dengan peralatan lengkap tiba di lokasi untuk memadamkan api.
Proses pemadaman api bahkan dilakukan hingga 4 tahap, karena setelah dipadamkan api muncul kembali.
Waktu pemadaman dari awal hingga akhir diperkirakan sampai 3 mingguan.
Namun, penyebab kebakaran lahan karena disambar petir suatu hal yang tak masuk akal bagi Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Bambang Hero Saharjo.
“Nggak ada cerita petir itu. Kami sudah cek via satelit,” sebutnya.
Bambang mengungkap waktu kebakaran memang benar, yakni pada tanggal 18 April 2023.
Hal ini didasarkan pada hotspot yang tertangkap citra satelit VIIRS SNPP, tepatnya pada Latitude 1°37’03” dan Longitude 101°39’46”,.
Selain itu, juga ada perbedaan suhu suhu kecerahan (kelvin) tanggal 18 April 2023 di area kebakaran, dengan suhu kecerahan (kelvin) 234.8, di mana di titik hotspot lain memiliki suhu kecerahan (kelvin) sebesar 233.68.
“Pada titik ini pula tampak titik hotspot, selanjutnya yakni tanggal 19 hingga 20 Mei dan tanggal-tangal selanjutnya, secara hotspot SNPP,” jelasnya.
Pada Citra Satelit MODIS Terra/Aqua dan NOAA-20 baru, memang terdeteksi ada hotspot tanggal 21 April 2023.
Selain itu juga didukung oleh pantauan PM 2.5 pada wilayah terbakar yang tampang mengalami peningkatan.
Prof Bambang meyakini bahwa penyebab kebakaran yang terjadi di Parit Purba, Pelintung itu, adalah perbuatan manusia, bukan fenomena alam.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ditunjang oleh hasil studi literatur, Prof Bambang memastikan, bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia sangat mustahil terjadi akibat disambar petir, karena setelah petir akan segera diikuti oleh terjadinya hujan.
“Bila terjadi di lahan gambut maka hal tersebut sangat mustahil, karena dibutuhkan energi yang cukup dan bertahan lama agar api dapat self sustaining, sehingga bisa menjalar ke bagian lain dari titik awal kebakaran terjadi,” ujarnya.
Untuk memastikannya, maka hasil citra satelit dan pantauan hasil PM 2.5 adalah hal paling logis untuk menjawab penyebab awal kebakaran lahan di Pelintung, Dumai.
“Sebab itu, dipastikan bahwa kebakaran lahan di Jalan Parit Purba RT 009 Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai dimulai pada tanggal 18 April 2023, adalah akibat perbuatan manusia,” tegasnya.
Simpang Siur Luas Lahan yang Terbakar di Pelintung
Di lokasi ada plang polisi yang memuat informasi bahwa luas lahan terbakar di area ini berjumlah sekitar 50 hektar.
Namun Jikalahari meyakini bahwa total lahan yang terbakar tidak mungkin sekecil itu, dan dibenarkan oleh Slamet, “Lahan yang terbakar itu mencapai ratusan hektar.”
Pada 5 Mei 2023, tim Jikalahari melakukan tinjauan lapangan untuk melihat langsung lokasi lahan yang terbakar di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai.
Potret penampakan dan luasan area terbakar di kawasan ini juga sudah diunggah di akun Instagram @jikalahari, sebgaaimana dilihat Bertuahpos.com, pada Selasa, 30 Mei 2023.
Jika dilihat dari tangkapan kamera lewat udara itu, tidak mungkin luasan lahan yang terbakar hanya 50 hektare.
Jikalahari bahkan percaya luasan lahan terbakar di area ini mencapai sekitar 200 hektar lebih.
Saat itu, beberapa titik api masih bermunculan, upaya pemadaman dan pendinginan di lokasi masih dilakukan oleh perugas dan warga setempat.
Saat itu tim dari Jikalahari sempat menerbangkan drone.
Terlihat jelas bahwa ada 2 kebun sawit produktif yang tidak terbakar.
Menurut pengakuan Slamet, kebun itu milik warga, bukan milik perusahaan.
Dari pantauan udara ini terlihat dengan jelas bahwa area yang terbakar adalah kebun sawit tidak produktif dan semak belukar.
“Uniknya, sawit-sawit yang sudah produktif justru tidak terbakar,” sambungnya.
Sementara itu, dari hasil pengamatan Bertuahpos.com di lokasi, mendapati area sisa kebakaran lahan sudah mulai ditumbuhi rerumputan pakis hijau, meski jumlahnya belum terlalu banyak.
Ini menandakan bahwa kebakaran yang terjadi di lahan ini sudah terjadi sekitar sebulan yang lalu.
Di area ini memang dikelilingi oleh kebun sawit masyarakat. “Cara membedakannya mudah,” kata Ferry dari Tim Jikalahari.
Dia menyebut, kebun sawit milik warga dapat dikenali dengan pola perawasannya yang tidak teratur bahkan cenderung seperti tidak terawat.
Batang pohon sawit ditumbuhi gulma karena tidak setiap hari dibersihkan.
Berbeda dengan kebun sawit milik perusahaan, yang mana batangnya cenderung selalu bersih, karena perawatan rutin.
Ciri-ciri lain, pelepah sawit sisa pembersihan berantakan.
“Kalau kebun punya perusahaan, limbah pelepah sawit biasanya tersusun rapi sejajar dengan barisan pohon-pohon sawit,” ujarnya.
Sementara itu, untuk mengenali jenis kebun sawit yang tidak produktif dapat dilihat dari jumlah pelepah yang sangat banyak di usia muda.
“Kebun seperti ini lah yang terbakar di Pelintung,” sebutnya.
Manager Kampanye dan Advokasi Jikalahari Arpiyan Sagita menyebut, Jikalahari menduga bahwa ada unsur kesengajaan atas terbakarnya ratusan hektar lahan di area Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai ini.
Jikalahari menilai bahwa pola semacam ini, adalah modus lama, terlebih area yang terbakar sangat dengan dengan perusahaan.
“Ini modus lama yang biasa dilakukan untuk menambah lahan baru dan mengganti kebun sawit yang tidak produktif.
Pemprov Riau Lambat?
“Melihat kondisi di lapangan, fenomena El Nino yang sebelumnya sudah kami ingatkan ternyata benar-benar terjadi,” kata Manager Kampanye dan Advokasi Jikalahari Arpiyan Sagita.
Dia menyebut, sejak awal Jikalahari sudah mewanti-wanti, dan memberikan rekomendasi kepada Pemprov Riau agar tidak terjadi kebakaran, sesuai dengan instruksi dalam Perda 01 Tahun 2019.
“Namun itu tidak dijalankan. Sehingga kita lihat di sekeliling kita api (membakar lahan) kembali terjadi,” ujar pria yang biasa disapa Aldo ini.
Dari brief yang diterbitkan Jikalahari pada Februari 2023 berjudul: El Nino 2023 Seperti Karhutla 2015 dan 2019, seolah di sini lah penegasanya.
Karhutla yang terjadi di tahun 2023, tak lebih—dari sebab akibat— lambatnya kebijakan turunan yang seharusnya dikeluarkan oleh Pemprov Riau.
Pada 15 Agustus 2019, terbit Perda Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Penanggulangan Kebakaran Hutan, terbit.
Perda ini berisi mulai dari pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca kebarakan hutan dan/atau lahan.
Termasuk lah di dalamnya soal sarana prasarana, pengawasan, kelembagaan, peran masyarakat, pembiayaan, ketentuan penyidikan, dan ketentuan pidana.
Dalam perda tersebut, Gubernur Riau Syamsuar harus menerbitkan 9 Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai tindak lanjut dari Perda ini, yang diterbitkan paling lama setahun sejak perda terbit—15 Agustus 2019, yang mana Pergub tersebut disusun oleh BPBD Provinsi Riau. Adapun kesembilan Pergub tersebut yaitu mengenai:
- Izin pembakaran hutan dan/atau lahan untuk tujuan khusus pasal (9 ayat 7).
- Satuan tugas pengendalian karhutla pasal (23 ayat 3).
- Prosedur tetap dan kriteria penetapan status siaga dan/atau tanggap darurat karhutla pasal (27 ayat 4).
- Penetapan prosedur tetap dan kriteria status siaga dan/atau tanggap darurat pasal (29 ayat 2).
- Prosedur pembentukan dan sususan organisasi tim koordinasi penanggulangan karhutla (pasal 30 ayat 2).
- Pedoman pelaksanaan rehabilitasi atas areal bekas karhutla (pasal 33 ayat 3).
- Standar kecukupan sarana dan prasarana pengendalian karhutla (pasal 38 ayat3).
- Pedoman pelaksanaan pelaporan pengendalian karhutla (pasal 50 ayat 3).
- Tata cara peran masyarakat dan kewajiban pemerintah daerah dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan (pasal 51 ayat 4).
Sejak perda terbit pada Agustus 2019, Gubri baru menerbitkan satu Pergub Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Prosedur Tetap Kriteria, Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana, Komando Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau.
Pergub ini menimbang 2 pasal dalam Perda Nomor 1 Tahun 2019 dan memuat 4 aturan yang diwajibkan untuk dibuat aturan pelaksananya.
Sisanya 5 Pergub belum disusun sebagai bentuk realisasi dari kewajiban yang dibebankan dalam Perda 1 Tahun 2019.
Setidaknya, Perda ini berisi prakondisi, pertama, situasi tidak terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan.
Kedua, situasi terdapat potensi kebakaran hutan dan/atau lahan.
“Inti dari Perda, yaitu mulai dari pencegahan, penanggulangan hingga penanganan pasca kebakaran hutan dan/atau lahan termasuk melibatkan peran serta masyarakat,” kata Aldo.
Dia menyebut, Jikalahari fokus pada ketentuan atau norma yang berkaitan dengan pengawasan dan penindakan terhadap korporasi maupun non korporasi, utamanya cukong dan penyelamatan serta evakuasi masyarakat.
Pertama, penataan lahan gambut.
Dalam perda ini mewajibkan pemerintah daerah melakukan (1) penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan gambut sesuai peruntukan tata ruang wilayah dan provinsi, (2) peninjauan ulang perizinan gambut, (3) menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan gambut.
Kedua, audit kepatuhan.
Setiap pemegang wajib melakukan audit kepatuhan ketersediaan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan setiap dua tahun sekali dengan melibatkan pemerintah daerah15, hasil audit kepatuhan disampaikan kepada masyarakat sebagai informasi publik melalui media cetak dan elektronik.
Ketiga, pengawasan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan, evaluasi dan monitoring terhadap kelengkapan dan kondisi sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan terhadap setiap pemegang izin secara berkala paling sedikit enam bulan sekali dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat dibidang lingkungan hidup.
Keempat, tindakan.
Tindakan oleh pemda atas pelanggaran berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan termasuk pencemaran lingkungan hidup.
Kelima, penyelamatan dan evakuasi.
Penyelamatan dan evakuasi masyarakat oleh pemda dari dampak kebakaran hutan dan/atau lahan. Pelayanan kemanusiaan melalui upaya: identifikasi korban, pertolongan darurat, evakuasi korban, dan rumah sakit yang menjadi rujukan.
Penyediaan kebutuhan dasar berupa: kebutuhan air bersih dan sanitasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penampungan dan tempat hunian yang layak.
Perlindungan terhadap kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, dan pelayanan kesehatan. Kelompok rentan terdiri atas: (a) bayi, balita dan anak-anak, (b) ibu yang mengandung atau menyusui, (c) penyandang cacat, (d) orang lanjut usia, dan (e) kelompok masyarakat marjinal.
Sebelumnya Gubernur Riau menyatakan telah menerbitkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) berdasarkan Keputusan Gubernur Riau Nomor 803/IV/2022.
Namun, Made, hingga kini dokumen RPPEG Provinsi Riau tidak ditemukan.
“Selain itu, proses penyusunan hingga penetapan RPPEG Provinsi Riau juga tidak melibatkan partisipasi publik,” katanya.
Gubernur Riau Syamsuar, saat ditemui Bertuahpos.com di Gedung Daerah, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Rabu, 31 Mei 2023, tidak merespon banyak terkait hal ini.
Menurut Syamsyar, hal terpenting dalam penanganan Karhutla di Riau yakni bagaimana sinergitas antar pihak dalam melakukan upaya penanganan.
“Yang penting bukan Perdanya, yang penting itu kerja kita bisa menyelamatkan Riau (dari Karhutla),” katanya.
“Yang terpenting itu, bagaimana kita bisa menyelamatkan Riau, jangan ada lagi bencana asap,” ujar Syamsuar.***