BERTUAHPOS.COM – Tahapan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau Tahun Anggaran (TA) 2022 menjelang final. Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau berkomitmen menuntaskan sesegera mungkin.
Supaya penggunaan anggaran tahun depan bisa lebih dini. Meski tahapan hampir tuntas dengan asumsi dan perencanaan anggaran yang kelihatan sangat optimis, terbersit kekhawatiran dan kegelisahan. Mulai perkara mengejar pendapatan hingga membelanjakan. Mengacu kepada pidato pengantar Nota Keuangan yang dibacakan kepala daerah, RAPBD 2022 dibayangi sejumlah ketidakpastian.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) sebagai salah satu instrumen penggerak perekonomian nasional dan tumpuan utama sumber penerimaan daerah dalam penyusunan APBD juga dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sementara agenda pemulihan perekonomian di tahun 2022 wajib terus digesa.
Sekilas informasi RAPBD Riau 2022, penerimaan pendapatan direncanakan Rp. 8.6 Triliun. Dibanding tahun 2021 terjadi penurunan berkisar Rp. 1,1 triliun. Menurut Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar, penurunan APBD Riau diantaranya dipicu perubahan regulasi berupa pergeseran dana transfer seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang mana jika sebelumnya kucuran dana disalurkan melalui Pemprov maka di tahun 2022 langsung di transfer ke kabupaten/kota. Lebih lanjut ke penerimaan di tahun 2022 dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperkirakan mencapai Rp. 4,7 Triliun atau 54,88 persen dari total pendapatan. Ditambah proyeksi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) direncanakan sekitar Rp. 125 Miliar. Itulah gambaran belanja Riau di tahun 2022. Jika mengacu ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2024, antara proyeksi belanja 2022 semula berkisar Rp 10.8 Triliun dengan RAPBD 2022 saat ini jelas meleset.
Kesenjangan
Persoalan kemandirian daerah yang selalu dihadapi Riau saban tahun adalah bertambahnya kebutuhan belanja barang publik dan pelayanan publik. Sementara laju peningkatan penerimaan daerah atau kemampuan fiskal tak mampu mengimbangi. Ibarat kata pepatah: lebih besar pasak daripada tiang. Rendahnya kemampuan dibanding kebutuhan membuat terjadinya kesenjangan fiskal. Upaya meningkatkan produktivitas sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) memberi harapan menjanjikan manakala “jatah” pengelolaan diberikan kepada Riau melalui Participating Interest (PI) sebesar 10 persen pada Wilayah Kerja Migas. Bahkan digadang-gadangkan akan memberikan dorongan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Riau di tahun mendatang. Namun ekspektasi mesti ditahan dulu. Mengingat dari sisi produksi lapangan-lapangan minyak Riau belum sepenuhnya pulih seiring transisi peralihan pengelolaan Blok Rokan ke Pertamina. Berkaca dari kondisi tadi dan masih tingginya ketergantungan APBD dan ekonomi Riau dari Migas, diprediksi bakal terjadi tekanan hebat terhadap laju pertumbuhan ekonomi Riau bahkan ke bawah tingkat pertumbuhan dari semula diharapkan. Walau kita diajarkan berharap yang terbaik, namun perlu juga berencana untuk mengantisipasi hal terburuk. Agar siap dengan opsi alternatif menghadapi berbagai kemungkinan.
Namun ada asa melihat perhitungan sumbangsih sektor PAD di tahun 2022 yang diperkirakan 54,88 persen dari total pendapatan. Berkaca ke belakang, tahun 2022 terjadi peningkatan. Peningkatan PAD dinilai baik dalam rangka mengurangi ketergantungan dari pusat. Memberi ruang fiskal dan angin segar untuk memenuhi belanja daerah. Dengan tetap menuntut hak daerah semisal DBH termasuk “memburu” bagi hasil perkebunan, tambang dan SDA lainnya yang berkeadilan bagi daerah penghasil. Namun untuk merealisasikan proyeksi PAD tentu harus didahului perbaikan kinerja dan optimalisasi terhadap sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah Pemprov Riau menghitung kembali potensi riil PAD perlu digesa. Sebab akan menjadi bahan evaluasi penting sekaligus proyeksi pendapatan. Berikut membantu mengatasi cela dalam pengelolaan pendapatan daerah sejauh ini, entah itu kebocoran penerimaan daerah dan lain-lain.
Disamping itu, anomali dibalik tren pertumbuhan ekonomi Riau sangat mengganggu. Idealnya, dengan tren ekonomi Riau yang terus bertumbuh membuka peluang menggali lebih banyak pemasukan daerah. Contoh simpel Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Menurut proyeksi RPJMD dan kenyataannya, jumlah kendaraan di Riau terus bertambah. Sayangnya penerimaan pajak kendaraan belum optimal. Secara umum, perolehan pendapatan dari pajak dan retribusi yang sudah diatur dalam Perda masih belum sesuai harapan. Mengejar pendapatan bukan semata ekstensifikasi atau menggali sumber-sumber baru. Intensifikasi tak kalah penting. Belum lagi menyoal perusahaan di Riau mangkir dari pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat temuan banyaknya perusahaan perkebunan di Riau tak punya NPWP. Ini perlu ditertibkan.
Disamping itu, pembenahan dan inovasi agar urusan pajak makin praktis dan memudahkan juga dinantikan. Banyak warga di daerah mengeluh kesulitan bayar pajak. Mereka harus menempuh jarak cukup jauh karena terbatasnya kantor atau Unit Pelayanan Teknis (UPT). Ini bikin masyarakat urung bayar pajak.
Efektif
Lanjut ke sektor esensial yakni belanja. Seiring kegiatan dirasionalisasi, ditunda atau tidak terealisasi dalam APBD TA 2020 dan 2021 tentu berdampak ke perencanaan secara keseluruhan. Belum jelas bagaimana program, target dan indikator yang tak terlaksana di tahun anggaran sebelumnya dan apa dampaknya terhadap belanja tahun 2022? Belum lagi asumsi dan acuan penyusunan RAPBD 2022 masih berpedoman ke RPJMD Provinsi Riau tahun 2019-2024 “lama” (sekarang sudah diajukan Pemprov Riau ke DPRD untuk direvisi).
Perubahan yang terjadi akibat pandemi tentu menyita konsentrasi APBD. Perubahan fundamental menuntut perubahan pendekatan secara fundamental pula. Dengan tema Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2022 fokusnya yaitu “Meningkatkan kemandirian ekonomi berbasis industri, pertanian dan pariwisata dengan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang prima”, dengan 6 prioritas pembangunan yaitu: pengembangan industri; pengembangan pertanian; pengembangan pariwisata; pembangunan infrastruktur dan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan; pengembangan SDM yang beriman, berkualitas dan berdaya saing; tata kelola dan pelayanan publik yang prima, di sisi lain fokus APBD juga mengikuti kebijakan fiskal APBN tahun 2022 yakni Pemulihan ekonomi dan Reformasi struktural. Artinya, konsentrasi tetap berkutat pada pemulihan ekonomi dan pengendalian Covid-19.
Oleh karena itu belanja daerah harus benar-benar efektif. Butuh kecermatan dan ketepatan mengatur ritme belanja daerah serta mengedepankan realisasi belanja modal sedari awal agar diperoleh output maksimal.
Mempertahankan jaring pengaman sosial, belanja daerah yang berorientasi memperkuat program padat karya dan mendorong daya beli masyarakat diprioritaskan. Galaunya disini memang. Tuntutan banyak sementara anggaran terbatas.
Selayaknya mencapai pertumbuhan ekonomi optimal, belanja APBD tambah besar dari tahun sebelumnya. Apalagi Riau tertinggal dalam pemenuhan infrastruktur mendasar: sarana jalan dan jembatan, bangunan sekolah, sarana kesehatan, irigasi dan lain-lain yang menentukan daya saing daerah. Masih dominannya belanja pegawai di APBD daripada belanja publik seperti belanja modal bikin pelik. Berkaca dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Riau tahun 2022 yang menyasar peningkatan kinerja investasi dan ekspor, belanja modal justru kuncinya. Belanja modal kayak infrastruktur dapat meningkatkan produktivitas. Efeknya pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Terakhir, beratnya tantangan pada dasarnya momentum untuk berbenah. Kembali menyoal pendapatan, permasalahannya bukan sumber penerimaan yang terbatas. Tapi kelemahan di internal organisasi Pemda gagal diidentifikasi atau lambat diatasi. Menyikapi keterbatasan belanja, perlu menanamkan mindset agar setiap duit dikeluarkan sepadan dengan perolehan. Termasuk penyertaan modal BUMD, belakangan penambahan untuk PT. Bank Riau Kepri dan PT. Penjaminan Kredit Daerah sebagai konsekuensi Perda nomor 3 tahun 2021, maka kontribusi ke pendapatan daerah diharapkan lebih besar. Belanja daerah juga harus komit terhadap tema RKPD tahun 2022. Pencapaian indikator harus terukur. Mengingat setiap program dalam dokumen perencanaan saling berkesinambungan. Ketika tak tercapai atau tak maksimal maka semakin menumpuk PR mengejar ketertinggalan di tahun anggaran berikutnya.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungan penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi bertuahpos.com