BERTUAHPOS.COM – Tidak kalah dengan para pebisnis, publik juga begitu cepat merespon kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada maskapai untuk beroperasi di tengah pandemi (COVID-19).
Sebagian melihat bahwa pemerintah tidak tegas dengan setiap kebijakan yang dibuat dan itu wajar. Hanya dalam waktu tiga hari setelah Kementerian Perhubungan menyatakan seluruh bandara di tutup, dikeluarkanlah izin baru untuk maskapai agar beroperasi kembali, walau diberlakukan dengan syarat tertentu.
Lion Group yang pertama kali merespon itu. Sehari setelah pemerintah mengeluarkan izin operasional, pihak maskapai berlogo singa merah ini langusng mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pesawat mereka akan mengudara dengan izin dan ketentuan pemerintah.
Tak ada yang bisa menyangkal bahwa wabah corona telah membuat bisnis maskapai babak belur. Hal ini diakui oleh Indonesia National Air Carrier (INACA). Organisasi ini mecatat potensi kerugian yang dialami maskapai—terutama pada empat bandara besar seperti Bali, Jakarta, Medan dan Surabaya—pada periode Januari-April sebesar USD 12 juta.
Untuk Apa Pemerintah Beri Kelonggaran Kepada Maskapai?
Hari ketiga, setelah pemerintah menutup aktivitas di bandara—sejalan dengan ketentuan larangan mudik—Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi luluh, dengan memberi kelonggaran, karena industri maskapai sangat terdampak COVID-19. Kondisi ini memang tidak diinginkan oleh siapapun. Tapi, pemerintah mengizinkan pebisnis menggunakan pesawat, dengan tujuan bisnis dan bukan mudik, juga patut dipertanyakan.
Pada 27 April 2029, selesai rapat dengan Presiden Joko Widodo, Budi Karya mengatakan pemerintah memberi izin untuk pebisnis naik pesawat. Pihak maskapai diminta untuk menerapkan protokol COVID-19 secara ketat.
Dia meminta pihak maskapai langsung berkoordinasi dengan Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Nasional untuk merumuskan ketentuan-ketentuan penumpang yang ingin terbang. “Saya minta Pak Doni (Kepala BNPB) atur itu. Kalau kita, nanti dikira bisnis lagi,” kata Budi.
Arahan Presiden Joko Widodo cukup jelas. Yang boleh terbang adalah pebisnis, bukan pemudik. Artinya, hanya orang-orang dengan urusan dan kepentingan bisnis yang boleh pakai jasa maskapai untuk melakukan perjalanan antar daerah, di tengah wabah.
Siapa yang Boleh Berangkat?
Eksekutif General Manager Angkasa Pura II Pekanbaru, Yogi Prasetyo kepada Bertuahpos.com, melalui pesan Whats App, mengirimkan poin-poin tentang syarat dan ketentuan untuk mereka yang boleh terbang dengan pesawat. kata dia, ketentuan ini berdasarkan informasi dari pihak airlines.
Diketahui, bahwa penumpang yang di izinkan untuk terbang yakni dengan kategori; pax repatriasi, awak pesawat, operasional penegakan hukum, ketertiban, pelayanan darurat dan kargo, serta pimpinan pemerintahan.
Sedangkan penumpang-penumpang tersebut jika ingin melakukan perjalanan dengan pesawat wajib melampirkan syarat administrasi sebagai berikut:
- Surat Pernyataan Perjalanan dalam Rangka pengendalian Covid-19 di Indonesia (terlampir).
- Surat Keterangan Perjalanan dari Perusahaan/Instansi.
- Surat Keterangan Sehat/Bebas Covid-19 (Rapid test di lakukan di RS yang menyediakan dan surat ini berlaku 7 hari dari tanggal di keluarkan surat).
Memang informasi ini masih sangat umum. Seorang pengusaha di Pekanbaru menghubungi Bertuahpos.com. Dia masih bingung untuk ketentuan perjalanan darurat. Apakah orang sakit bukan COVID-19, termasuk di dalamnya? Misal orang tua uzur (sakit-sakitan tapi bukan COVID-19) apakah diperbolehkan melakukan perjalanan dengan pesawat untuk berobat?
Pada 29 April 2020, lalu Bertuahpos.com, mengubungi salah seorang marketing di maskapai Lion Air untuk mengkonfirmasi informasi tersebut. Sayangnya, melalui sambungan telpon, dia tidak bersedia memberikan penjelasan rinci. “Silangkan datang ke kantor saja pak, nanti ketentuannya dijelaskan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pada ketentuan pebisnis yang diperbolehkan untuk melakukan perjalanan dengan pesawat juga dipertanyakan oleh Ketua ASITA Riau, Dede Firmansyah. Dia meragukan penumpang maskapai dengan ketentuan pebisnis. “Bagaimana maskapai atau pemerintah bisa menjamin kalau yang berangkat itu memang untuk kepentingan bisnis?” kata Dede, dalam saat berbincang dengan Bertuahpos.com, belum lama ini.
Selain itu, dengan ketentuan ini ada kesan penggolongan yang dilakukan oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan pebisnis masih ambigu, dan kebijakan ini dianggap berpotensi blunder. Apakah pedagang dari Pekanbaru yang mau cari barang ke Tanah Abang, juga pebisnis? Lalu bagaimana kalau pebisnis ini meakai alasan perjalan bisnis mereka, tapi untuk mudik atau pulang kampung?. “Inilah yang saya maksuk kalau kebijakan ini blunder,” ungkap Dede.
Pengamat : Ini Kebijakan Instan
Pengamat penerbangan, Arista Atmajati, menilai kebijakan itu sulit untuk dijalankan karena sulit membuktikan apakah penumpang itu terbang untuk kepentingan bisnis, mudik, atau kepentingan lain. Pernyataan ini ditulis BBC Indonesia, dan telah tayang pada tanggal 29 April 2020 lalu.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga terngiang dalam benak Arista. “Apakah harus bawa surat keterangan dari perusahan? Harus pakai jas dasi baru diketahui pebisnis? Susah di lapangan itu, apalagi kalau pakai surat bisa direkayasa, kejujuran dipertanyakan. Nanti orang-orang kaya mau mudik naik pesawat karena tidak bisa naik mobil, dan kereta, akhirnya keluar sedikit uang buat surat rekayasa, surat jalan bisnis.”
Dia menilai ketentuan-ketentuan dalam kebijakan ini memang terlalu repot untuk diterapkan di lapangan. Kebijakan seperti ini dihasilkan dari pemikiran yang instan. “Semuanya terlalu instan mikirnya,” kata Arista.
Industri Maskapai Babak Belur, Kebijakan Pemerintah Tak Beri Solusi
Arista menuturkan memang bisnis maskapai babak belur akibat virus corona. Diperkirakan operasionalnya mengalami penurunan hingga 70%. Beberapa maskapai total berhenti beroperasional, hingga ada maskapai yang pesawatnya ditarik oleh pemberi sewa (lessor). Ada banyak pesawat-pesawat parkir di bandara dan pemandangan ini bisa dilihat langsung, selain penerbangan kargo. Namun, tidak semua kebagian angkut kargo, dan kontribusi pendapatan maksimal hanya 20%.
Dia menuturkan, untuk parkir pesawat pun harus membayar kepada pihak bandara. Hingga kini, lanjutnya, tidak ada bantuan dari pemerintah terhadap industri penerbangan. “Lucunya Pak Jokowi sejak Februari sudah mengatakan akan memberikan stimulus pada maskapai, Mana? Omong kosong semua itu, tidak dijalankan semua,” ungkapnya, seperti dikutip Bertuahpos.com dari BBC Indonesia.
“Yang enteng-enteng saja seperti biaya parkir, landing fee, biaya navigasi. Tidak ada diskon sampai sekarang, semua bayar normal, padahal pendapatannya jatuh hingga 70%. Inilah lemahnya jika pucuk pimpinan dan bawahan tidak sejalan,” katanya. (bpc3)