BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Setiap manusia pasti pernah marah dan memiliki tingkat emosi yang berbeda, tergantung bagaimana masing-masing orang bisa mengendalikannya.
Seseorang yang mudah marah bisa dikatakan gejala Psikologi. Seperti yang diungkapkan Dr. Zuriatul Khairi, M.Ag., M.Si, bahwa seseorang yang gampang marah terhadap sesuatu hal yang terjadi di lingkungan dan sekitarnya itu sudah mengalami ketidak mampuan dan kematangan emosi.
“Sebenarnya itu sudah gangguan, sudah sakit. Sudah mengalami ketidak mampuan, kematangan emosi. Jadi dia tidak mampu mengendalikan emosi,” ungkapnya kepada bertuahpos.com Rabu, (13/07/2016).
Dijelaskan Zuriatul, diwaktu seseorang sedang marah dapat menyebabkan tekanan darah dan denyut jantung tinggi. Hal itu dapat mengganggu kondisi Psikologis seseorang. Karena itu orang-orang yang emosional itu biasanya sering kali tekanan darahnya tinggi. “Karena dia dipaksa memompa darah itu ketika marah, lama kelamaan kan memang jadi hipertensi. Jadi sakit fisik jadinya, yang awalnya yang sakit itu mentalnya,” katanya.
Lebih lanjut, dikatakan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau ini, dari perkembangan dapat dilihat. Ketika dimasa anak-anak mereka belum memiliki kontrol emosi, pendidikanlah yang mengajar kita sehingga kita mampu menjadikan manusia yang mampu mengendalikan emosi kita.
“Anak-anak umur 3, 4 tahun itukan semua milik dia. Apa yang dia minta harus dapat. Itulah dasar manusia seperti itu semua. Ketika kita berkembang, kita memang sangat emosional sekali. Tapi, pendidikan yang mengajarkan kita, melatih kita sehingga kita mampu mengendalikan emosi, mengenal oh itu milik orang, kita gak boleh ambil,” jelasnya.
Pendidikan membantu kita tidak boleh marah, dan menyayangi sesama, sambungnya. Itu sebenarnya yang membantu kita mengontrol emosi. Namun, tidak semuanya dapat lulus dalam mengendalikan emosi tersebut. Ketidaklulusan itu disebabkan beberapa faktor. Salah satunya karena kesalahan pendidikan dan faktor dalam keluarga. “Biasanya anak-anak yang dari orang tuanya memang pemarah, anak-anak tersebut akan mengkopi prilaku ayahnya yang mungkin pernah memukul ibunya, itu akan di salinnya. Itu merupakan salah satu faktor dalam keluarga yang menyebabkan orang emosional,” katanya.
Dikatakan Zuriatul, apa yang dilakukan orang tuanya akan terekam dalam otak anak-anak. Jika orang tuanya sudah tempramen, kemungkinan besar anaknya akan tempramen. Kecuali anak itu dihindarkan. Sejarah bisa berubah, misalkan dia belajar baik langsung maupun tidak langsung secara psikologi, dia belajar dari buku atau belajar agama bahwa apa yang dia lakukan itu salah, maka saat itu dia sadar disitulah akan terjadi pemisah.
“Nah itu tidak boleh saya tiru, saya harus berubah. Nah belajarlah secara otodidak atau mungkin ada orang lain yang mengajarnya mengatur regulasi emosinya,” tuturnya.
Kalo tidak menyadari, sampai remaja dan akan dewasa tidak dirubah maka sampai tuapun akan terus tetap begitu. Sebenarnya, kalo seseorang menyadari bahwa apa yang dia lakukan salah maka itu sudah gampang. Tinggal mengisi dalam psikologi itu disebut terapi kognitif atau kemampuan berfikir dilatih.
Mengapa orang marah?? Pada dasarnya karena dia menganggap dirinya lebih hebat dari pada orang yang dimarahinya. Misalkan, dia naik motor. Kalau dia lewat, secara tidak langsung dia ingin orang lain itu berhenti namun orang itu lewat di depannya dan memotongnya. Dia merasa lebih hebat dari orang itu sehingga dia marah dan menganggap orang itu masa Bodoh. Akhirnya di caci makinya. Jika suatu saat orang dia caci maki itu berbadan kecil/besar berhenti dan memukul lalu dia tidak bisa apa-apa, biasanya dia sadar dengan apa yang dia lakukan sehingga terjadi perubahan kognitif.
Namun, jika dia mencaci maki dan pergi dan tidak mendapat respon dari orang yang di maki sehingga orang tersebut akan merasa hebat karena tidak pernah mendapatkan pendidikan apa-apa, orang yang dimakinya hanya diam dan hal tersebut akan menjadikannya merasa benar dan hebat.
Nah, ketika sudah memiliki kesadaran tinggal merubah cara berfikir kita terhadap sesuatu hal yang ada dan yang terjadi dilingkungan maupun kehidupan kita sehari-hari. Misalkan, tiba-tiba ada mobil yang buru-buru kencang disitu kita bisa berfikir positif. Mungkin orang yang mengendari mobil tersebut butuh waktu yang cepat, atau istrinya mau melahirkan dan lain sebagainya.
Sehingga, jika kita sudah bisa berfikir positif terhadap sesuatu yang ada di dekat kita maka kognitif kita berfungsi dengan baik dan kita tidak akan marah. “Yang jadi raja dalam diri kita itu emosi, tapi emosi itu lahir dari kognitif. Kognitif kita membantu membuat mindset, sehingga kalo kita menganggap kita hebat, kitalah segala-galanya maka kita jadi pemarah,” pungkasnya.
Penulis: Arie