BERTUAHPOS.COM — Mantan Plt Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Riau, Tengku Fauzan Tambusai, yang sebelumnya dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa, dengan penuh harap memohon kepada majelis hakim agar dibebaskan dari seluruh dakwaan yang menjeratnya.
Permohonan itu disampaikan oleh Heriyanto SH, selaku pengacara Tengku Fauzan, dalam nota duplik (jawaban-red) atas replik (tanggapan) jaksa penuntut umum (JPU) terhadap pembelaan (pledoi) terdakwa, yang dibacakan pada sidang, Kamis (14/11/24) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, dengan majelis hakim yang dipimpin Jimmi Maruli SH MH.
Heriyanto menegaskan, jika tuduhan terdakwa melakukan korupsi anggaran perjalanan dinas di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Riau Tahun 2022 senilai Rp2,3 miliar lebih, tidak bisa dibuktikan oleh jaksa. Bahkan, dalam keterangan para saksi di persidangan tidak ada yang mengatakan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dana perjalanan dinas tersebut.
Dalam duplik itu Heriyanto menjelaskan ada beberapa poin penting yang menunjukkan jika JPU tidak bisa membuktikan terdakwa bersalah. Pertama, saat penetapan Fauzan sebagai tersangka pada tanggal 15 Mei 2024 lalu yang dinilai ganjil.
Menurut Hery, awalnya pihaknya menganggap audit kerugian negara yang dilakukan pada Januari 2024 sebagai dasar penyidik menjadikan Fauzan sebagai tersangka. Namun di persidangan, JPU menyebutkan, hasil yang digunakan adalah hasil audit tanggal 4 Juli 2024.
“Artinya, pada saat Fauzan sebagai tersangka itu, jaksa belum ada menemukan kerugian negara. Mana mungkin menetapkan seorang tersangka korupsi tanpa ada kerugian negaranya,”kata Fauzan.
Poin lainya sebut Hery, keterangan saksi Denny, Taufik dan Aidil Fitrianto dalam BAP terkait hasil audit Inspektorat Riau di Januari 2024 saling berseberangan. Padahal, ketiganya sama-sama diminta keterangan di persidangan.
Kemudian lanjutnya, saksi Taufik dalam kesaksiannya mengakui ada menguasai uang SPPD itu sebesar Rp1,1 miliar, yang digunakan hingga Desember 2022. Akan tetapi, JPU tidak bisa membuktikan kalau dana itu memang benar uang itu digunakan sampai habis oleh Taufik.
“Karena dalam aturannya, apabila pejabat tidak bisa membuktikan uang yang telah digunakannya itu, maka dia akan mengembalikannya ke kas daerah. Anehnya, kenapa jaksa tidak mau mengejar Taufik untuk membuktikan penggunaan uang Rp1,1 miliar itu. Karena, Taufik bisa saja menjadi tersangka,”ungkapnya.
Lalu, dalam persidangan terungkap kalau saksi Denny mengatakan ditelpon Taufik untuk melakukan pertemuan dengan terdakwa Fauzan di Pondok Hijau Daun. Dalam pertemuan itu, Denny mengakui adanya kesepakatan pemotongan Rp1,5 juta setiap SPPD yang cair.
“Ternyata, saat Taufik menjadi saksi di persidangan dia membantah keterangan Denny itu. Taufik menegaskan tidak pernah menelpon Denny untuk bertemu dengan Fauzan.
Tidak hanya itu sebut Heriyanto, saksi Taufik menegaskan tidak tau adanya pertemuan dengan Denny dan Fauzan itu. Sementara Denny mengaku dalam pertemuan itu ada saksi Taufik.
“Jadi disini terlihat tidak terbukti adanya kesepakatan antara terdakwa dengan Denny terkait pemotongan itu. Tidak ada mensrea-nya dan aliran dana terhadap terdakwa Fauzan,”jelasnya.
Apalagi terkait aliran dana itu paparnya, antara keterangan saksi Denny, Taufik dan Aidil tidak saling bersesuaian. Para saksi memiliki keterangan berbeda terkait jumlah dana tersebut.
Bahkan lanjut Heriyanto, Fauzan hanya menjabat selama 3 bulan saja. Kondisi ini tidak memungkinkan baginya untuk menjalankan kegiatan SPPD tersebut.
Apalagi sambungnya, sejak Fauzan menjabat Silpa di Setwan DPRD Riau sebesar Rp30 miliar lebih. Sementara sebelumnya, hanya Rp10 miliar saja.
“Makanya kami menyimpulkan, seluruh unsur pidana korupsi yang dituntut JPU terhadap terdakwa tidak terpenuhi. Karena itu kami memohon kepada majelis hakim Yang Mulia untuk membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan jaksa,”tegas Heriyanto.
Untuk diketahui, sebelumnya Jaksa penuntut umum (JPU) Dewi Shinta Dame SH MH dan Yuliana SH, menuntut Fauzan selama 8 tahun penjara pada sidang, Kamis (7/10/24) lalu. Jaksa menyatakan Fauzan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2021 atas perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fauzan juga dibebankan membayar denda sebesar Rp300 juta. Apabila denda tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Tidak hanya itu, JPU juga memberikan hukuman tambahan agar terdakwa membayar uang pengganti (UP) kerugian negara sebesar Rp2.353.826.140. Jika UP itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan, korupsi yang dilakukan Fauzan terjadi saat menjabat sebagai Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris DPRD Riau pada medio September sampai Desember 2022.
Terdakwa memerintahkan bawahannya untuk mempersiapkan dokumen pertanggungjawaban kegiatan perjalanan dinas periode September – Desember 2022 di Sekretariat DPRD Riau.
Di antaranya, Nota Dinas, Surat perintah tugas (SPT), Surat perintah perjalanan dinas (SPPD), Kwintasi, Nota pencairan perjalanan dinas (NP2D). Kemudian, Surat perintah pemindah bukuan Dana (Over Book) (SP2DOB) Tiket trasportasi, Boarding Pass dan bil hotel.
Setelah semua dokumen terkumpul, terdakwa selaku Pengguna Anggaran (PA) menandatangani dokumen pertanggungjawaban tersebut. Kemudian terdakwa memerintahkan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan bendahara pengeluaran untuk mengajukan pencairan anggaran ke Bank Riau tanpa melalui verifikasi.
Setelah uang kegiatan perjalanan dinas masuk ke rekening pegawai yang namanya dicatut atau dipakai dalam perjalanan dinas fiktif tersebut, setiap pencairan dilakukan pemotongan sebesar Rp1,5 juta dan diberikan kepada nama-nama pegawai yang dimaksud, sebagai upah tanda tangan.
Selebihnya uang pencairan perjalanan dinas fiktif tersebut total Rp2,8 miliar lebih, setelah diberikan sebagian pencairan kepada nama-nama yang dicatut tersebut, menjadi Rp2,3 miliar lebih.***