BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Pelaksanaan Pemilu 2024 dipastikan akan dihadapkan pada persoalan-persoalan politik klasik. Mulai dari money politic hingga biasnya penafsiran UU Pemilu, sehingga para politisi berpotensi memanfaatkan ruang-ruang yang tak seharusnya disentuh politik praktis.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengungkapkan, setidaknya ada 5 persoalan dalam pengawasan Pemilu 2024. Bagja menjelaskan, kelima persoalan tersebut selalu ditemui Bawaslu dalam pemilihan elektoral lima tahunan.
Pertama, terkait politik uang, terutama dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan legislatif. “Mahar politik dalam Pilkada, dalam pencalonan,” ujar Bagja dalam Rapat Koordinasi Nasional Sentra Gakkumdu yang disiarkan kanal YouTube Bawaslu RI, sebagaimana dikutip Bertuahpos.com dari video itu, Selasa, 19 September 2022.
Kedua, terkait ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintahan non-ASN. Menurutnya, masih sering terjadi politisasi birokrasi dalam pemerintahan. Ketiga, masa kampanye yang hanya 75 hari.
Padahal, jelas Bagja, sebelumnya masa kampanye selama 6 bulan. Akibatnya, waktu penanganan pelanggaran Pemilu juga semakin singkat.
Keempat, soal kampanye hitam, ujaran kebencian, dan politisasi SARA yang semakin masif digunakan dalam beberapa penyelenggara Pemilu terakhir. Bagja juga mengungkapkan, Bawaslu akan berupa meminimalisir penyebaran berita bohong terkait Pemilu dalam media sosial.
Kelima, persoalan normatif terkait penegakan aturan Pemilu. Bagja tak menampik pasal-pasal dalam UU Pemilu ataupun UU Pilkada masih membuka ruang tafsir yang berbeda-beda. Dia mencontohkan polemik kampanye di kampus yang beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan.
“Tentu kita tidak lupa pernyataan bapak Ketua KPU RI mengenai dibolehkannya tempat pendidikan untuk kampanye. Nah ini persoalan tersendiri karena dalam UU 7/2017 [UU Pemilu] sifatnya adalah kumulatif dan bukan kumulatif alternatif,” jelas Bagja.
Jika dilihat dari artikel pasal, sambungnya, tempat pendidikan, keagamaan, dan fasilitas umum, bahasa penyambungnya adalah ‘dan’, bukan ‘dan/atau’.
Menurut Bagja, penting ditemukan formulasi yang tepat untuk membuat tafsiran seragam dalam aturan Pemilu. Dengan begitu, Bawaslu dapat mengantisipasi sejak dini potensi kecurangan atupun pelanggaran Pemilu.***