BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Jikalahari dan Walhi Riau mendesak Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau segera mencabut Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau Tahun 2018-2038 pasca terbit putusan Mahkamah Agung Nomor 63 P/HUM/2019.
Pencabutan terutama pada Pasal 1 angka 69, Pasal 23 ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan (2), Pasal 46 ayat (2) huruf c, d dan e, dan Pasal 71 ayat (1) dan (2) di Perda tersebut.
“Putusan ini bukti Gubernur Riau Andi Rachman dan DPRD 2014-2019 memaksakan kehendak dengan terburu-buru menetapkan Perda RTRWP Riau 2018-2038, menutup ruang partisipasi publik dan menguntungkan cukong dan korporasi yang selama ini merusak hutan tanah, dalam Pola Ruang RTRWP Riau,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“DPRD Riau dan Gubernur Riau Syamsuar segera duduk kembali untuk membatalkan pasal pasal yang dikabulkan Mahkamah Agung, sembari memasukkan konsep Riau Hijau dalam revisi Perda RTRWP Riau 2018-2038,” kata Riko Kurniawan, Direktur ED Walhi Riau.
Pada 12 Agustus 2019, Jikalahari bersama Walhi Riau mendaftarkan Permohonan Keberatan (Judicial Review) ke Mahkamah Agung terhadap Perda 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Prvovinsi Riau.
Permohonan JR didaftarkan langsung ke Mahkamah agung melalui kuasa hukum dan diterima oleh Supriadi, S.H., M.H. Kepala Seksi Penelaahan Berkas Perkara Hak Uji Materil Mahkamah Agung.
Jikalahari dan Walhi Riau menemukan, Perda RTRW Riau bertentangan dengan aturan sektoral lainnya seperti: Pertama, Perda 10 Tahun 2018 mengalokasikan kawasan lindung gambut seluas 21.615 ha (0,43%) dari 4.972.482 ha lahan gambut di Riau sangat jauh dibawah ketentuan PP No. 71 Tahun 2014 jo.
Lalu PP No. 57 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dimana Provinsi harus mengalokasikan minimal 30% menjadi kawasan lindung.
Hal tersebut juga bertentangan dengan SK 130/MENLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, dimana Riau ditetapkan fungsi lindung seluas 2.378.108 ha.
Kedua, usulan perhutanan sosial seluas 112.330 Ha di Riau belum ditindaklanjuti Dirjen PSKL dengan alasan Perda RTRW Riau ha usulan Perhuanan Sosial harus mendapat rekomendasi dari DPRD Riau, padahal merujuk UU 41 No 1999 tentang Kehutanan jo Permen LHK No 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial izin PS kewenangan MenLHK, tidak membutuhkan rekomendasi Gubernur dan pembahasan bersama DPRD.
Ketiga, mengambil kewenangan menteri LHK berupa mempersempit kewenangan Menteri LHK atas kawasan hutan. Perda RTRWP Riau mengalokasikan 405.874 ha kawasan hutan kedalam outline.
Padahal perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan merupakan otoritas menteri LHK yang tidak dibatasi oleh outline selama itu berada dalam kawasan hutan merujuk pada UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan Jo PP No 104 tahun 2015 tentang Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Keempat, Perda 10 tahun 2018 tidak diterbitkan berdasarkan KLHS yang terlah diberikan persetujuan validasi oleh KLHK.
Berdasarkan putusan perkara nomor 63 P/HUM/2019 yang diputuskan pada 3 Oktober 2019 oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung Dr Irfan Fachruddin, SH, CN dan Dr H Yodi Martono Wahyunadi bersama Dr H Supandi SH, MHum, majelis mengabulkan 5 pasal dari 7 pasal yang diajukan Jikalahari bersama Walhi.
Hakim menyatakan pasal-pasal yang dikabulkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut, Berikut pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung:
Pertama, Perda Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038 Pasal 1 angka 69 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terkait outline menurut majelis hanya salah satu teknik simbolisasi yang tidak ada hubungannya dengan status atau peruntukan kawasan. Dalam penataan ruang, outline adalah garis batas terluar untuk suatu penggunaan ruang.
Berdasarkan penafsiran otentik tidak satu pun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, yang menyebutkan atau menjelaskan mengenai outline, sehingga nomenklatur outline tidak dapat dijadikan suatu norma karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
Kedua, Perda Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038, Pasal 23 ayat 4 dan pasal 38 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut hakim, kawasan hutan tidak boleh serta merta dilepaskan untuk peruntukan permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, sebagaimana Pasal 71 ayat (2) melainkan harus menempuh permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 31 ayat (1) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Pasal 18 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan;
Ketiga, Perda Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038, Pasal 46 ayat 2 huruf c, d dan e bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Karena wilayah yang masuk dalam outline adalah masih merupakan kawasan hutan akan tetapi dimanfaatkan untuk pemanfaatan non-kehutanan sehingga bertentangan dengan ketentuan pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22, Pasal 24 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Menurut Majelis, Pasal 46 ayat (2) huruf d akan membatasi perubahan peruntukan kawasan hutan, baik dilepaskan sebagai kawasan hutan maupun dijadikan kawasan hutan sehingga berpotensi membatasi akses kelola dan pemanfaatan oleh masyarakat dimana kebutuhan akses masyarakat banyak yang terdapat diluar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan outline.
Selain itu, kewenangan pemerintah daerah dalam Pasal 14, Pasal 65 dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi wewenang pemerintah daerah pada bidang kehutanan sangat terbatas diantaranya pada pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota pada pasal 14 ayat (2) dan tidak termasuk memberikan rekomendasi atas perhutanan sosial.
Selanjutnya, di Pasal 46 ayat (2) huruf e bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 65ayat (1) dan (2), Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 7 ayat (3), (4), Pasal 9 ayat (1), Pasal 18 ayat (3),(4), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), (4), Pasal 31 ayat (1), Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan KehutananRI No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial;
Keempat, Menyatakan Perda Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018 – 2038, Pasal 71 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam majelis terkait dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan Pasal 2 huruf g dan h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan mempertimbangkan terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (1) ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Ruang, Pasal 31 ayat (1) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Pasal 18 Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan;
Riko mengatakan, untuk kabupaten yang sedang menyusunan RTRW atau sudah disahkan agar berpedoman pada perubahan sesuai putusan MA. “Pemerintah kabupaten harus menunda pembahasan RTRW atau merevisi jika sudah ada yang berjalan,” ujar Riko Kurniawan.
Dia juga menyoroti program percepatan Perhutanan Sosial di Riau yang belum mencapai target yang sudah ada, “Perhutanan sosial, pemulihan lingkungan hidup dan kehutanan salah satunya gambut dan mangrove harus cepat dikebut KLHK sebab tak ada lagi halangan Perda,” kata Riko Kurniawan. (bpc2)