BERTUAHPOS.COM – Gajah menjadi hewan mamalia terbesar dan unik. Apalagi bagi orang Sumatera. Hewan bertubuh tambun ini sebenarnya sangat ramah dan bisa dijinakkan.
Dalam satu gerombolan—bersama sang pawang—seringkali mereka menyapa penduduk dengan tingkah-tingkah menggelikan.
Bagi mereka, manusia adalah pelindung. Tapi bagi sebagian lain (gajah liar) manusia adalah musuh.
Konflik antara manusia dengan gajah selalu mewarnai kehidupan masyarakat di Bumi Lancang Kuning.
Pemicunya sudah jadi rahasia umum. Ya, arena habitatnya disulap menjadi kebun, aksi pembalakan liar di luar batas, termasuk hadirnya lahan pertanian baru.
Kondisi ini bukan saja merugikan bagi gajah. Tapi juga rugi bagi manusia.
Bahkan tak jarang, konflik yang terjadi menimbulkan korban jiwa, dari kedua belah pihak.
Sejak 2005, PT RAPP telah melaksanakan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan mitigasi konflik satwa-manusia melalui kelompok Skuad Gajah Terbang (Elephant Flying Squad atau EFS).
Tindakan ini mendukung komitmen APRIL Group dalam Sustainable Forest Management Policy (SFMP) 2.0 dan APRIL2030 yang memprioritaskan konservasi serta perlindungan hutan dalam operasionalnya.
Riau adalah Pusat Konservasi Gajah Sumatera—Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.54/Menhut-II/2006 tentang Penetapan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera dan peraturan perubahannya P. 73/Menhut-II/2006. Lingkungan dan segala elemen berkaitan, seharusnya ramah dengan kehidupan gajah.
Mitigasi Konflik WWF Riau, Samsuardi menjelaskan, salah satu upaya meminimalisir konflik antara gajah dan manusia, mengusirnya dengan kawanan gajah yang terlatih. Kadang-kadang, suara bunyi-bunyian keras dilepaskan untuk menghalau gajah liar yang agresif.
“Ya, gajah sangat takut dengan suara dentuman keras. Mereka akan keluar dari area perkebunan, atau menjauh dari zona yang dianggap rawan terjadinya konflik,” kata Samsuardi.
EFS aktif berkolaborasi dengan BBKSDA Riau, Forum Gajah, dan lembaga konservasi lainnya, memfasilitasi pertukaran informasi dan pengalaman dalam penanganan gajah.
Mereka secara rutin menjadi ‘dokter hewan’ untuk melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh pada gajah-gajah jinak.
Kata Samsuardi, di tengah pedalaman hutan Riau, ada sekumpulan gajah sumatera yang dilestarikan, jinak, terlatih dan sering ikut “berpatroli” bersama manusia untuk membantu mitigasi konflik dengan kawanan gajah liar yang tidak sengaja memasuki area masyarakat.
Gajah-gajah ini merupakan adopsi dan anakan yang dirawat dan dilestarikan oleh PT RAPP-APRIL Group.
EFS akan melatih gajah-gajah itu seperti ‘pasukan baru’ untuk membantu pawang mengusir gajah-gajah liar dari area yang berpotensi konflik.
“Cara lain, kami selalu sosialisasi kepada masyarakat. Terutama mengajarkan mereka bagaimana cara mengusir gajah liar,” tuturnya.
Sarmin, salah satu pawang (mahout) dalam kelompok EFS, mengatakan, terdapat enam gajah yang dilestarikan dan bersama-sama membantu manusia mencegah konflik.
Dalam melatih para gajah, tentu sangat menantang bagi Sarmin. Karena setiap individu bertingkah dengan karakter yang berbeda-beda.
Salah satu gajah yang dia latih, memiliki sifat over temperamental. Maka sang pawang harus lebih banyak sabar.
“Kegiatan sehari-hari, merawat gajah sesuai dengan kebutuhan mereka,” ungkapnya.
EFS adalah implementasi teknik mitigasi konflik gajah manusia. Tugas utama tim ini adalah menggembalakan dan menghalau gajah liar untuk mencegah masuknya ke lahan masyarakat.
BBKSDA Riau dan WWF memperkenalkan EFS pada tahun 2005, dengan dukungan dari beberapa pemangku kepentingan.
Surat Keputusan Gubernur Riau No. 20 tahun 2008 membentuk EFS sebagai langkah konkret dalam penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar, sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 1841 tahun 2002 mengenai gangguan satwa liar dengan manusia.
Program mitigasi konflik dalam EFS sendiri diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan, seperti tidak ada lagi gangguan konflik gajah liar yang berbatasan dengan konsesi masyarakat, masyarakat lokal tidak takut untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan gajah, hingga memastikan kondisi gajah yang sehat dan mampu melahirkan keturunan sehingga populasi satwa ini dapat terus terjaga.
Tak hanya itu, berbagai pelatihan terus dilakukan untuk meningkatkan kompetensi Mahout dalam membimbing gajah. Patroli gabungan pun rutin dilakukan bersama tim BBKSDA,BTNTN dan WWF.
Pada 2005, PT RAPP bersama pihak terkait seperti World Wide Fund (WWF) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menandatangani nota kesepahaman mengelola tim patroli dengan gajah, dan pada 2006 tim itu dikukuhkan di Estate Ukui, Pelalawan.
Bahkan saat ini tim gabungan Flying Squad WWF bersama tim Flying Squad RAPP dan Yayasan TNTN terus melakukan patroli.
Data WWF menurut Samsuardi selama 2014 saja (Januari-Agustus), jumlah kematian gajah di Riau mencapai angka 23 ekor. 19 di antaranya ada di block hutan Tessonilo. Sisanya di Dumai dan Bengkalis.
“Dari 23 ekor gajah yang mati selama 2014, hampir semuanya diindikasikan mati karena di racun. Itu sebabnya WWF bersama Yayasan TNTN dan tim flying squad RAPP melakukan patroli bersama di kawasan TNTN mulai 19 Agustus hingga 2 September mendatang,” terang Samsuardi.
Sementara itu tim flying squad RAPP turut bergabung dalam patroli ini sebagai bentuk kepedulian perusahaan dalam mitigasi konflik antara gajah dan manusia.
Patroli ini juga ditujukan untuk memberikan informasi ke masyarakat bahwa gajah merupakan satwa kunci yang wajib dilindungi.
Di 2011, International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan tentang status konservasi Gajah Sumatera ke dalam kategori Critically Endangered (CR) yang artinya satwa ini berada diambang kepunahan.
Gajah Sumatera merupakan salah satu jenis mamalia yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLH/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Beberapa kelahiran-kelahiran bayi gajah telah meningkatkan optimisme dan semangat Balai Taman Nasional Tesso Nilo sebagai pusat konservasi Gajah Sumatera di Riau dalam melestarikan kembali populasi Gajah Sumatera.
Dari sini, kita mengetahui bahwa RAPP punya niat baik untuk mewujudkan semangat membangun masa depan berkelanjutan dengan konservasi dan kemitraan.
Harapannya, tentu saja menjadi inspirasi bagi lebih banyak instansi atau individu untuk ikut berperan dalam menjaga populasi gajah, dan memastikan kelangsungan mereka di habitat alam.***