BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Fenomena krisis yang dialami oleh petani sawit di Riau, efek dari jatuhnya harga tandah buah segar atau TBS, bukan kali ini saja terjadi. Tahun 2009, harga TBS sawit di Riau bahkan jatuh sekitar harga Rp 100 per kilogram. Petani sawit berduyun-duyun menjual harta, dan menarik simpanan uang di bank.
Melihat fenomena ini, Asisten II Bidang Perekonomian Setdaprov Riau Masperi, mengaku Pemerintah Provinsi Riau bukan tidak belajar dari kejadian yang sudah ada. Salah satu upaya yang bisa dilakukan, adalah dengan membagun tambahan hilirisasi terhadap bahan baku CPO di Riau. Dengan demikian, ketergantungan CPO Riau terhadap pasar ekspor akan berkurang.
“Itu bukan tidak terpikirkan sama kita. Tapi bagaimana lagi RTRW kita masih belum selesai,” katanya, kepada bertuahpos.com, Kamis (20/08/2015).
Dia menjelaskan, untuk hilirisasi terhadap turunan sawit di Riau sudah masuk dalam cakupan skala prioritas Pemerintah Provinsi Riau. Namun lagi-lagi rencana tata ruang dan wilayah atau RTRW Riau yang masih belum selesai, menjadi penghambat.
Salah satu cara yang bisa dilakukan saat ini adalah gabungan kebijakan dari pemerintah pusat yang harus dipentingkan dahulu. Sementara di Riau sendiri yang harus dipacu adalah pergerakan sektor rill.
“Hilirisasi untuk turunan sawit ini sudah masuk dalam RPJMD. Cuma persoalannya sekarang, bagaimana mau hilirisasi kalau RTRW kita masih bermasalah,” sambungnya.
Sementara itu, Ekonom Riau Ermansyah SE MM, menanggapi efek buruk yang dikhawatirkan dari dampak turunnya TBS sawit di Riau adalah perekonomian di daerah akan bergejolak. Dia mengakui fenomena ini pernah terjadi pada tahun 2009 lalu. Turunnya harga sawit pada level terendah menyebabkan sebagian besar perekonomian masyarakat di daerah Riau melemah.
“Masyarakat di daerah yang cenderung menopang perekonomian mereka pada perkebunan sawit akan tertekan. Hal itu disebabkan karena perubahan gaya hidup,” katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Suska Riau ini, melihat tren perubahan itu begitu terasa di wilayah pedesaan dibanding Kota Pekanbaru. Ketergantungan perekonomian mereka pada perkebunan sawit selama ini, cenderung membuat pola ekonomi keluarga stabil. Pada saat harga sawit jatuh, maka perubahan itu akan terasa.
Dia khawatir sebagian masyarakat yang menggantungkan hidup pada sawit tidak siap dengan kondisi tersebut. Melihat pada masa enam tahun silam, sebagian besar masyarakat yang berkebun sawit kesusahan melakukan pembayaran cicilan dan memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya.”Bahkan saya ada menemukan masyarakat yang minjam uang ke rentenir karena tidak cukup bayar cicilan,” tambah Ermansyah. (Melba)