BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Saat Gunung Barujari, anak Gunung Rinjani erupsi, ratusan pelancong tak juga turun untuk menyelamatkan diri. Mereka tetap bertahan kendati bahaya sedang mengancam.
Ternyata itu karena keindahannya. Gunung Rinjani (3.726 mdpl) itu sangat indah. Gunung ini semakin diperindah dengan kehadiran anak Gunung Rinjani, yaitu Gunung Barujari.
Gunung baru itu muncul dari dalam Segara Anak, sebuah kolam raksasa yang ada di gunung itu. Gunung ini menyapu sebagian air danau, dan memberi panorama lain dari kawasan Gunung Rinjani.
Untuk mereguk keindahannya, memang banyaK rute yang bisa dipakai untuk mengakrabi gunung ini. Tetapi trek yang umum dilalui adalah tiga rute. Pertama Sembalun Lawang, kedua jalur Senaru, dan ketiga melalui Torean. Untuk jalur ketiga ini tidak dianjurkan untuk dipakai jika belum sangat paham kawasan ini.
Bagi yang ingin santai menikmati pemandangan alam, pilihlah jalur Sembalun Lawang. Rutenya tidak sulit, dipenuhi padang sabana, dengan jalur naik turun yang membuat perjalanan tidak monoton.
Dari jalur ini pendaki bisa langsung ke puncak Rinjani jika tidak ingin istirahat sejenak di Segara Anak, yang letaknya menurun. Jarak tempuh dari Sembalun Lawang ke puncak Rinjani rata-rata sekitar delapan sampai sepuluh jam. Saban harinya jalur ini ramai karena tidak berbahaya.
Jalur kedua adalah Senaru. Sebelum masuk daerah ini, pendaki akan disambut Desa Bayan. Ini desa adat. Desa yang dikenal sebagai pengikut ‘Islam Wetu Telu’. Desa ini rutin menggelar acara ritual. Disini pula terdapat masjid kuno peninggalan Sunan Prapen dari Giri (Gresik). Serta makam-makam dengan nisan unik.
Pertengahan Bayan-Senaru, ada keindahan lain yang bisa dinikmati. Di area ini terdapat air terjun eksotik, memancar di antara rumah-rumah khas Sasak, dan perbukitan, namanya Sendang Gila (gile, dalam logat Sasak).
Trekking Senaru untuk menuju puncak Rinjani agak pendek, sekitar enam jam. Tapi hati-hati, trekking ini sering membuat turis asing menyewa porter khusus. Mereka tidak meneruskan langkah karena berbagai hambatan. Mereka terpaksa turun ditandu. Itu karena jalur ini terus menanjak tanpa sedikit pun memberi kesempatan kaki untuk istirahat.
Hambatan kedua adalah Puncak Sangkareang. Para pendaki yang selama enam jam kakinya dipacu terus naik itu akhirnya harus uji nyali di tempat ini. Puncak Sangkareang yang indah dipenuhi Edelweys itu adalah bukit lain yang terpisah dengan bukit yang ‘menyimpan’ Segara Anak, Gunung Baru anak Gunung Rinjani, serta puncak Rinjani.
Untuk menuju Segara Anak, Gunung Baru, serta puncak Rinjani, para pendaki harus menyeberanginya. Melalui batu-batu yang ada di ‘dua bukit’ itu pendaki harus merambat, berpegangan, dan melompat ke bukit yang lain. Ini membuat pendaki yang belum siap mengurungkan niat untuk meneruskan pendakian.
Di puncak Sangkareang panorama sangat indah. Seluruh keindahan yang ada di kawasan Rinjani tertangkap mata dari area ini. Kalau cuaca lagi bagus, Gunung Agung di Bali muncul di balik putih dan birunya langit. Persis seperti istana dewa yang ada di Jonggring Saloka sana.
Pada waktu bulan purnama, Suku Sasak yang akan melakukan ritual tabur mas juga melalui rute ini. Mereka, dewasa dan anak-anak, sambil bicara, bergurau dan membawa bekal seadanya, menyusuri rute ini tanpa beban. Tapi turis asing yang belum tahu medan, biasanya mengurungkan niat mendaki puncak Rinjani karena kengerian medan Senaru ini.
Sedang rute ketiga menuju ‘persemayaman Dewi Anjani’ ini bisa dilakukan via Torean. Rute ini masih asing. Bahaya karena terus menanjak, dengan rute yang gampang menjebak. Itu karena jarang yang melakukan pendakian lewat jalur ini, hingga jika tidak jeli, maka pendaki akan kesasar ke bukit yang lain.
Porter yang ada pun tidak banyak yang hafal rute ini. Mereka yang tahu juga jarang yang mau memandu pendaki yang mengambil jalur ini. Kalaulah ada, biasanya meminta banyak syarat, diantaranya bayaran yang sangat mahal.
Jika Anda tertarik untuk mendaki Rinjani, silahkan ukur diri dan pilih yang sesuai dengan keinginan dengan berbagai risikonya. Sebab ini menyangkut nyali dan nyawa.Â
Penulis: Djoko Su’ud Sukahar