BERTUAHPOS.COM – Tak terasa bulan berlimpah berkah meninggalkan kita. Menyisakan jutaan kenangan kebaikan. Kini memasuki hari nan fitri, rasa sedih, haru dan senang campur aduk dalam hati. Sedih Ramadhan pergi, senang Syawal hadir bawa asa kemenangan. Setelah sebulan lamanya dibimbing dan ditempa melalui beragam ibadah, mulai ibadah vertikal mengevaluasi dan memperbaiki hubungan kepada Allah SWT lewat puasa, shalat tarawih, membaca Al-Qur’an juga berorientasi horizontal peduli kepada sesama dengan bersedekah dan berderma.
Status fitrah paling diincar. Berharap bak terlahir kembali, suci. Singkatnya, fitrah prediket istimewa impian semua. Di kalangan awam, kata fitrah lekat pada perayaan Idul Fitri yang kerap diidentikkan hari kemenangan. Namun satu pertanyaan layak diketengahkan, kemenangan seperti apa hendak dicapai?
Pertanyaan sepintas terlihat sederhana. Tapi salah jawaban berujung jebakan. Jika hari kemenangan yang dirayakan bermakna puncak setelah sebulan penuh berpuasa, maka ini keliru. Sebab puasa terkesan dianggap beban. Apalagi selama berpuasa kita diwajibkan mengekang hasrat meski ke hal-hal yang dihalalkan. Kesalahan paradigma bisa menggagalkan upaya memperoleh status fitrah. Semestinya bulan puasa dimaknai instrumen yang mendidik kita. Supaya mampu mengendalikan hawa nafsu. Kalau terhadap yang diperbolehkan saja bisa ditahan, lebih lagi ke yang diharamkan. Inilah wujud kemenangan sebagaimana firman Allah SWT di surah Al Baqarah: 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Berangkat dari ayat, jelas bahwasanya status takwa tropi kemenangan sesungguhnya.
Kunci
Kita mahfum pentingnya ketakwaan yang selalu diulang-ulang di setiap ceramah dan pengajian. Kendati begitu tak ada salahnya kembali mengulang kaji. Khususnya di momen Idul Fitri. Kembali ke pembahasan awal tulisan, kemenangan hanya dapat diraih bila kriterianya terpenuhi. Bicara dalil, dalam redaksi Al-Qur’an dan hadits kata taqwa disebut 258 kali dalam berbagai bentuk serta bermacam-macam situasi dan kondisi. Secara etimologi, takwa berarti menjaga diri, menghindari, menjauhi dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Taqwa memiliki tingkatan. Perbedaan tingkatan ditentukan kualitas keimanan dan ketaatan seseorang melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Menukil pendapat ulama, menurut Imam An-Nawawi taqwa mentaati perintah dan larangan serta menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah SWT. Imam Al-Jurjani berpendapat bahwa takwa menjaga diri dari perbuatan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.
Mengacu pada dalil dan pendapat ulama disimpulkan bahwa sesiapa yang tidak menjaga diri dari perbuatan dosa bukan termasuk ciri bertaqwa. Orang yang melihat, mendengarkan, mengambil dengan kedua tangannya dan melangkahkan kaki ke tempat yang tidak diridhai Allah SWT berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Ketakwaan bukan sesuatu yang baru. Sejak dilahirkan ke dunia, manusia terlahir dalam keadaan fitrah dan tahu siapa Penciptanya. Itulah kenapa anak-anak dicap polos, jujur ketika berkata. Beranjak dewasa fitrah masih melekat walau tergerus. Munculnya rasa bahagia saat berbuat baik dan rasa bersalah sewaktu berbuat buruk merupakan wujud nyata tertanam fitrah dalam diri kita. Takwa yang kita lakukan pada dasarnya bukan untuk kepentingan Allah SWT. Toh Tuhan maha segalanya. Manfaat takwa kembali ke diri kita selaku hambanya. Contoh umum ketika manusia tak bertakwa, tak akan segan merusak lingkungan. Bilamana alam rusak bencana melanda dan rugikan hidup manusia.
Maka menjaga fitrah adalah misi ajaran Islam. Prosesnya berkesinambungan. Ramadhan bukan akhir perjuangan. Justru awal. Ibarat mengasah pisau, setelah tajam lebih produktif. Sungguh kerugian teramat besar ketika Ramadhan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Kendati manusia tempatnya silap dan salah, bukan berarti larut dalam kubangan kesalahan dan dosa. “Bertakwalah kepada Allah SWT dimana saja kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan keburukan. Dan pergauilah manusia dengan akhlak mulia” (HR. At-Tirmidzi). Menjaga fitrah juga bukan semata urusan pribadi. Itulah kenapa ajaran Islam sangat menekankan urgensi mewarnai lingkungan. Serupa bulan Ramadhan yang membentuk atmosfir positif tumbuh kembangnya kebaikan. Di sinilah ruang amar makruf dan nahi mungkar. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. (Al-Imran :110).
Amar Makruf Nahi Munkar
Berkaitan amar ma’ruf, mereka yang meraih kemenangan paska Ramadhan tampak dari pengaruh positif ke lingkungan sekitar, memiliki kepekaan sosial dan bersemangat berbuat kemaslahatan. Disamping beramar ma’ruf juga perlu nahi mungkar. Terbersit rasa tak nyaman melihat penyimpangan dan meluruskannya sesuai kapasitas dan kemampuan dimiliki. Sebagaimana sabda Rasul “Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim). Memang amar makruf dan nahi mungkar tidaklah mudah. Bahkan orang saleh sekalipun belum tentu sanggup menunaikannya. Tersaji di hadapan kita orang mengaku paham agama tapi berada di barisan pelaku kezaliman. Tak sedikit pula orang berilmu dan tahu benar salah tapi malah diam melihat kemungkaran terang-terangan. Padahal Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (Ar-Ra’d: 11).
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, fenomena di atas pertanda buruk. Pangkal perkara bukan maraknya kezaliman, kemungkaran dan penyimpangan. Semua sudah ada sejak dulu dan sampai kapanpun. Pertanyaannya dimana peran kita? Tak cukup modal do’a. Harus ada keinginan, tekad dan usaha. Rasa gusar melihat penyimpangan bagus. Tapi membiarkan tanpa aksi hanya akan melestarikan keburukan. Lambat laun akan dianggap biasa dan mencengkram kehidupan kita. Akhirnya berimbas ke semua. Ingatlah pesan Rasullullah. Manakala penyimpangan dan kezaliman sudah mengakar berikut dipuja dan dibela, lambat laun Allah SWT akan mencabut rahmatnya. “Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)” (HR. Abu Dzar).***
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU