Dana Bagi Hasil (DBH) mencuat sebagai topik terhangat belakangan. Di saat prospek Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau ke depan semakin buyar di bawah bayang-bayang penurunan akibat pergeseran dana transfer berikut Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Insetif Daerah (DID) yang berkurang. Pendapatan dari DBH Minyak dan Gas Bumi (Migas) juga tidak menentu. Bahkan infonya, target DBH Migas Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau 2021 terjun bebas, yang mana untuk 12 kota/kabupaten di Riau hanya ditargetkan Rp1,73 triliun.
Jumlah itu disebut-sebut target terendah dalam kurun 10 tahun terakhir. Hanya 35 persen dari target tahun 2020 dan 32 persen dari target tahun 2019. Penurunan APBD plus gamangnya sektor Migas ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Berkaca dari konstelasi tersebut, jelas makin memperkecil kapasitas fiskal Pemprov Riau tahun anggaran berikutnya. Ujungnya berpengaruh negatif terhadap belanja daerah dan berimplikasi pada banyaknya target meleset atau tidak terlaksana dari yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana pembangunan daerah.
Tambah dilematis mengingat Riau sejauh ini belum bisa mengurangi ketergantungan dari dana bersumber dari pusat. Secara rasio kemandirian, pola hubungan keuangan Pemprov Riau dinilai masih cenderung instruktif. Maksudnya, belum mampu mewujudkan spirit otonomi daerah dari sisi keuangan sebab dana perimbangan masih dominan. Sementara kinerja penerimaan daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum bisa bicara banyak.
Walaupun tren pertumbuhan ekonomi Riau terus positif, namun sayangnya belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Idealnya dengan ekonomi daerah terus bertumbuh tersaji banyak peluang untuk menggali lebih banyak pemasukan daerah. Namun yang terjadi justru ironi. Contoh sederhana pendapatan dari sisi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), peningkatannya masih belum terlalu signifikan. Padahal jumlah kendaraan terus bertambah. Dalam kondisi terjepit, mau tak mau harus mencari sumber pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan daerah.
Melirik Sawit
Riau lagi-lagi harus banyak bersyukur. Setelah Tuhan menganugerahi Riau dengan Migas di bawah bumi, di atas bumi hadir berkah hasil perkebunan. Dalam situasi bimbang gulana menghadapi dilema sumber pendapatan untuk belanja daerah, bangkitnya sektor perkebunan terutama kelapa sawit beberapa tahun belakangan tentu saja ibarat oase di tengah padang pasir kering-kerontang. Harga TBS kelapa sawit terus meroket seiring kenaikan harga jual Crude Palm Oil (CPO) dan harga kernel dari beberapa perusahaan.
Begitujuga kenaikan lumayan tajam juga terjadi di bursa perdagangan. Kontribusi Riau terhadap penerimaan negara yang terus menguat ditopang komoditi kepala sawit dan turunannya. Hingga triwulan III 2021, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau telah menghimpun penerimaan negara hingga Rp 11,7 triliun atau 71,05 persen dari target Rp 16,468 triliun yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Dengan status daerah sentra penghasil sawit, wajar muncul keinginan memperoleh bagian sepadan. Namun upaya memperolehnya ternyata tak mudah. Sudah lazim di negeri ini, status daerah penghasil tak lantas dapat jatah banyak. Butuh dedikasi dan komitmen dari unsur daerah untuk memperjuangkan. Inilah tengah ditempuh sekarang. Sebagaimana pemberitaan media massa, dalam berbagai kesempatan Gubernur Riau dan jajaran Pemprov, lembaga legislatif dan unsur lainnya terus menyuarakan tuntutan DBH dari kelapa sawit.
Mendorong pajak perkebunan sawit dengan melobi Komisi XI DPR-RI agar dapat diatur melalui regulasi. Dalam surat usulan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang dikirim 25 Agustus lalu ke Komisi XI DPR, Gubri meminta jatah sekitar 12 persen untuk Pemprov Riau dan angka tersebut tidak termasuk kabupaten/kota penghasil sawit. Tak puas menyurati Komisi XI, Gubri kembali menyampaikan aspirasi di sela pertemuan dengan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) RI, Suahasil Nazara saat berkunjung ke Riau Senin (1/11/2021).
Penyelamat
RUU HKPD momentum tepat guna memperbaiki hubungan pusat dan daerah, khususnya terkait DBH. Dan ini masih menjadi isu abadi sejak penerapan otonomi daerah. DBH untuk menyeimbangkan pembangunan nasional dengan pembangunan daerah. Sekaligus mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Namun peraturan perundang-undangan juga menggariskan dasar pengalokasian ada prinsip pembagian by origin. Artinya, daerah penghasil mendapat porsi lebih besar sementara daerah lain dapat bagian pemerataan dengan porsi tertentu. Sayangnya dalam pelaksanaan belum sepenuhnya transparan. Sehingga selalu mengundang kecurigaan dan kecemburuan dari daerah penghasil. Meski sudah ada rumus penghitungan DBH, namun Pemda tak punya cukup data semisal faktor pengurang DBH.
Ketidakpastian dikeluhkan karena kerap menghambat perencanaan anggaran di daerah sampai menyebabkan kesalahan penyusunan anggaran. Maka, wajar sekarang bersuara lebih keras. Dalam pertemuan Kepala Daerah penghasil kelapa sawit beberapa waktu lalu malah mengusulkan pembagian DBH 30% berbanding 70% atau 35% berbanding 65%.
Disamping menuntut pembagian berkeadilan bagi daerah penghasil, Pemda Riau diminta tidak kembali terlena. Semata berharap pada sumber daya ekstraktif termasuk perkebunan kelapa sawit. Memang DBH primadona dan sangat menjanjikan untuk menopang pendapatan daerah. Namun ketergantungan akut bisa menjebak. Cukup sudah Migas sebagai pembelajaran.
Ketika harga berfluktuatif dan tidak stabil, maka keuangan daerah ikut labil. Oleh karena itu, selain pembenahan dan peningkatan kinerja PAD, perlu berpikir jauh ke depan. Mumpung Riau booming sawit, Pemda harus punya strategi untuk jangka panjang. Penguatan aspek ekonomi dibarengi aspek lingkungan. Sehingga nilai manfaat dapat berkesinambungan.
Dari segi optimalisasi nilai ekonomi perlu memperbanyak industri hilir dan diversifikasi usaha pengolahan sawit. Dengan begitu keuntungan dirasakan masyarakat Riau dan tak dibawa lari ke luar daerah dan ke luar negeri oleh pemilik perkebunan. Jika perjuangan DBH nantinya membuahkan hasil, duit DBH harus dapat dipergunakan secara efektif.
Memperkuat sektor lain yang dinilai prospektif sebagai kontributor ekonomi daerah, mengalokasikan ke belanja sarana dan prasarana mendasar berbasis kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta peningkatan daya saing manusia daerah. Euforia sawit boleh. Tapi jangan terlena lalu menyesal di kemudian hari tatkala masa jaya sawit berakhir. Bagaimanapun setiap keunggulan ada masanya. Berangkat dari narasi tersebut, maka sawit penyelamat jangka panjang bagi daerah bukan sekedar satu atau dua tahun anggaran akibat menurunnya pendapatan.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI III DPRD PROVINSI RIAU
(Seluruh materi dalam artikel ini adalah tanggung jawab penulis).