بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku, semoga Allah merahmati, menyayangi dan terus membimbing kita semua dalam maqamat yang diridhoiNya.
Apakah engkau telah mengetahui bahwa setan telah bersumpah untuk menggelincirkan kita sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT :
“Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. Dia (Allah) berfirman, “Ini adalah jalan yang lurus (menuju) kepada-Ku”. Sesungguhnya kamu (Iblis) tidak kuasa atas hamba-hambaKu, kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang yang sesat.” (QS Al Hijr: 39-42).
Saudaraku terkasih, kembali kita menelaah peran nafsu dalam diri manusia yang berpengaruh besar dalam prilaku taat ataupun prilaku maksiat.
Jika seseorang berbuat maksiat, peran hawa nafsu sangatlah jelas dan terang. Mendeteksinya tidaklah terlalu sulit bagi orang yang masih “hidup” hatinya.
Namun ketika seseorang melakukan ketaatan sampai sehalus-halusnya di dalam dirinya, maka ia akan tetap diiringi gerak hawa nafsu yang menggodanya untuk berbuat maksiat. Hawa nafsu yang menggodanya sangatlah samar dan sangat sulit mendeteksinya.
Guru kami Syaikh Ibn ‘Athaillah qaddasallâhu sirrahu dalam al-Hikamnya memberikan tuntunan kehalusan itu:
حَظُّ النَّفْسِ فِى الْمَعْصِيَةِ ظَاهِرٌ جَلِيٌّ وَحَظُّهَا فِى الطَّاعَةِ بَاطِنٌ خَفِيٌّ وَمُدَاوَاةُ مَا يَخْفَى صَعُبَ عِلَاجُهُ
“Bagian hawa nafsu dalam perbuatan maksiat, jelas dan terang. Bagian hawa nafsu dalam perbuatan taat, halus dan samar. Dan untuk mengobati sesuatu yang samar itu sangat sukar penyembuhannya”.
Hawa nafsu selalu mengambil bagiannya baik dalam kemaksiatan ataupun ketaatan. Bagian nafsu dalam kemaksiatan seperti kelezatan makan, minum, kawin, mendengar nyanyian dan lainnya dari sesuatu yang diharamkan oleh agama. Bagian nafsu dalam kemaksiatan ini jelas dan nyata. Semua orang mengetahuinya.
Sedangkan bagian nafsu dalam ketaatan seperti melakukan amal taat dengan tujuan mencari kehormatan, ingin mendapat pujian di sisi manusia, ingin mengetahui sesuatu yang gaib. Tujuannya dalam beribadah tidak murni karena Allah. Ibadahnya bercampur riya’. Bagian nafsu dalam ketaatan ini halus dan samar.
Untuk mengobati yang pertama, bagian nafsu dalam kemaksiatan, tidaklah terlalu sukar. Itu bisa diobati dengan ber-‘uzlah, menjauhkan diri dari tempat-tempat kemaksiatan, bergaul dengan orang-orang baik dan banyak melakukan amal taat dan banyak berdzikir.
Tetapi untuk yang kedua, bagian nafsu dalam ketaatan, sangatlah sukar diobati. Sebab mengobati sesuatu yang samar itu lebih sulit dari mengobati sesuatu yang nyata. Bahkan dengan semakin banyak melakukan ketaatan semakin kuatlah nafsunya menuntut bagiannya.
Penyakit ini tidak bisa disembuhkan kecuali dengan ketakutan yang merisaukan atau kerinduan yang menggelisahkan atau berguru dengan wali arif yang sebenarnya. Ia mencintai, percaya dan pasrah dengan Syaikh Tarbiyah-nya tersebut.
Ketahuilah, bahwa ketika melakukan amal ketaatan, seseorang akan merasakan beban berat di dalam dirinya. Karena dalam ketaatan itu, nafsu yang selalu mengajak menusia ke jalan buruk dan kegelapan akan berhadapan dengan cahaya langit yang sangat halus yang menerangi kegelapan nafsu.
Jadi, apabila hawa nafsu mengajak seseorang untuk beribadah, maka waspadalah! Bisa jadi ajakan itu bukan bentuk dari ketaatan, tapi sebuah manipulasi untuk membungkus kemaksiatan dengan ibadah. Telitilah, apakah ada kepentingan nafsu di dalam ibadah tersebut.
Melakukan ibadah seharusnya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tapi nafsu mempunyai kepentingan lain seperti riya’ (ingin dilihat orang lain), sum’ah (ingin didengar orang lain), ‘ujub (merasa diri paling baik dalam pandangan orang lain) atau syirik (menyekutukan Allah SWT)
Riya’, sum’ah, ‘ujub dan syirik ini adalah penyakit samar yang menjerumuskan seseorang dalam ibadahnya. Bahwa dia orang yang ahli ibadah, yang selanjutnya orang lain memujinya, dan terkenal di kalangan manusia. Kemudian ia juga merasa paling baik, paling shaleh, paling ‘alim, dan paling benar di antara orang lain. Godaan-godaan itu berada pada tempat yang sangat halus dan samar.
Mengenai hal itu, dalam redaksi yang lain, masih dalam al-Hikam, Guru kami, Syaikh Ibnu ‘Ataillah qaddasallâhu sirrahu dawuh:
رُبَّمَا دَخَلَ الرِّيَاءُ عَلَيْكَ مِنْ حَيْثُ لَا يَنْظُرُ الْخَلْقُ إِلَيْكَ
“Bahkan terkadang masuknya riya’ dalam amal perbuatanmu itu dari arah yang tidak ada orang lain yang melihat padamu”.
Begitu dahsyatnya tuntunan Guru kita itu. Riya’ dideteksi dalam situasi yang justru bisa juga muncul dalam kesendirian. Dari sini, maka para ulama membagi perbuatan riya’ itu menjadi dua; riya’ jaliy (terang) dan riya’ khafiy (samar).
Riya’ jaliy muncul dalam amal perbuatan ketika di depan orang banyak. Namun demikian, godaan nafsu riya’ juga bisa masuk pada amal ketika tidak sedang berada di tengah orang ramai, alias sendirian. Keinginan untuk disanjung dan dimuliakan orang lain tetap muncul ketika pada kesendirian.
Tidak akan selamat dari riya’ jaliy ataupun khafiy, kecuali orang yang sudah ma’rifat billah dan kuat tauhidnya. Allah SWT menjaganya dari syirik dan menutup pandangannya dari melihat makhluk. Merekalah orang yang disebut oleh Iblis ketika dialog dengan Allah SWT sebagai Mukhlashin (orang-orang yang diikhlaskan).
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ۞ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ ۞
“Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. (QS. Shad [38]: 82-83)
Godaan hawa nafsu ketika dalam ibadah yang berupa riya‘, sum’ah, ‘ujub akan berakhir pada kesyirikan. Ketika godaan tersebut tak mampu ia eliminir dari dalam dirinya, maka semua amal ibadahnya akan sia-sia. Ibadah yang begitu sering dan banyak dilakukannya menjadi hilang sama sekali. Ia menjadi orang yang dikatakan tak ada ibadahnya.
Allah SWT berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ۞
“… Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi [18]: 110)
Syirik menjelma sebagai penghalang terbesar manusia dalam ibadahnya kepada Allah SWT. Dosa syirik menjerumuskan manusia pada kehinaan yang sangat sulit dicarikan obatnya. Syirik menghapuskan semua nilai yang muncul dari ibadah.
Rasulullah SAW bersabda:
الشِّرْكُ أَخْفَى فِي أُمَّتِيْ مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ عَلَى الصَّفَا فِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ
“Syirik yang ada di tengah-tengah umat ini lebih samar dari jalannya semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita.” (HR. Al-Hakim dari ‘Aisyah r.a., Al-Mustadrak, juz II, hal. 319, hadits no. 3148).
Bagaimana kaitan perbuatan riya’ yang berakhir dengan syirik, Rasulullah SAW memberikan penjelasan mendetil:
حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللّٰهِ، قَالَ الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً .
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Riya`, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan disisi mereka?”. (HR Ahmad bin Hanbal dari Mahmud bin Labid r.a., Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 428, hadits no. 24030)
Syaikh Yusuf bin al-Husain ar-Razy berkata: “Sesuatu yang amat berharga di dunia ini ialah ikhlas, beberapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dalam hatiku, tiba-tiba tumbuh lagi dengan lain corak (model)”.
Syaikh Abu ‘Abdullah al-Qurasyi berkata: “Siapa yang tidak puas dengan pendengaran dan penglihatan Allah dalam amal perbuatannya, maka pasti dia kemasukan riya’.”
Syaikh Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Siapa yang ingin amalnya diketahui orang, maka itu riya’, dan siapa yang ingin diketahui orang hal keistimewaannya, maka itu pendusta”.
Saudaraku terkasih, semoga Allah SWT memberikan kekuatan untuk menghempaskan godaan-godaan nafsu yang tersembunyi yang dapat merusak amal ibadah kita, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Oleh: H. Derajat
Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita