BERTUAHPOS.COM (BPC) – Sejarah Kota Anuradhapura memang luar biasa. Kota ini pusat agama Buddha yang kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Buddha di China, Korea, Amerika Serikat, Bangkok, Singapura, Malaysia dan Indonesia berasal dari kota ini. Sebab tiga cabang Theravada itu berasal dari Anuradhapura. Tak salah jika Unesco mengakui Anuradhapura sebagai Kota Sakral.
Kota ini semula adalah kerajaan yang dikuasai etnis Tamil. Kerajaan Anuradhapura dipimpin Raja Elara dari (Tamil) India.
Tapi raja dari etnis Sinhala, Dutugamunu, Dutthagamani atau dikenal juga sebagai Gamani Abhaya itu menyerang. Dia menang dan memerintah dari 161 SM – 137 SM (Sebelum Masehi).
Dari masa keemasan yang berlangsung lama itu, maka kota ini menyimpan banyak tapak sejarah. Dari Hindu dan Buddha serta akulturasi keduanya di aliran Mahayana, hingga banyaknya aksi Macan Tamil yang menyoal tentang masalalu Anuradhapura.
Tapi tulisan ini tidak bicara tentang itu. Ini kabar ringan, yang akan dihadapi siapa saja yang beranjangsana ke kota bersejarah ini. Jangan kaget, kota ini banyak dihuni nyamuk. Nyamuk itu bukan hanya jutaan, tapi mungkin miliaran.
Binatang penghisap darah itu sebenarnya sudah terasakan di Kota Colombo, kota terbesar Negara Sri Lanka. Di hotel mewah sekalipun pasti akan membuat warga dari negara lain heran.
Sebab di hotel-hotel itu, tiap kamar pasti berkelambu. Kayak kamar pengantin saja. Sudah itu, tiap kamar masih disediakan obat nyamuk semprotan. Tapi itu tidak se-ekstrim di Anuradhapura.
Ketika saya masuk kota ini, kebetulan sedang Hari Raya Poya. Sebuah hari yang secara tradisi dimeriahkan di tempat-tempat bersejarah. Ini wisata sekaligus ritus. Akibat itu, maka hotel penuh.
Karena tidak mungkin balik ke Kota Colombo yang jaraknya 214 kilometer dari Anuradhapura, maka sebagai alternatif saya cari losmen. Maunya lebih murah dari hotel yang baik. Tidak tahunya, selain sudah banyak yang penuh, mereka pun tidak menggunakan standar harga losmen yang ada.Ya, nggak apa-apa, terpaksa.
Menginap di losmen inilah pengalaman menyiksa itu dimulai. Saya yang tidak siap untuk jagongan dengan banyak teman (nyamuk, maksdunya), terpaksa semalaman tidak tidur, tapi kerja bakti menghindari nyamuk-nyamuk itu.
Di kamar losmen itu berisi dua tempat tidur. Memang di atasnya dilengkapi kelambu. Namun karena tempat tidur itu terlalu kecil, maka biar ada kelambu, nyamuk-nyamuk itu menggigit tubuh yang nempel kelambu itu.
Nyamuk ini bukan cuma biji-an. Atau puluhan. Jumlahnya mungkin ratusan, ribuan, atau jutaan. Saya tidak menghitung. Hanya ngeri melihat mereka bersuara dan pesta menggigit tubuh yang menempel kelambu. Sedang di kelambu itu sendiri, mereka berderet memenuhi kelambu, menunggu tubuh kita ada yang bisa digigit.
Karena tidak bisa tidur menghindari nyamuk-nyamuk itu, saya berusaha menggabungkan dua tempat tidur dan dua kelambu itu. Hasilnya, nyamuk yang tadinya berada di luar kelambu itu masuk. Ini pekerjaan yang harus dilakukan semalaman. Membunuh nyamuk !
Rasanya, di losmen ini, dan di losmen-losmen yang lain, nyamuk itu tak bakalan habis dikasih obat nyamuk atau disemprot insektisida. Itu karena saking banyaknya jumlah mereka.
Nyamuk-nyamuk itu pun tidak takut dan malu-malu untuk menggigit. Mereka langsung nempel dan menghisap darah. To the point. Mereka seperti pasukan berbaris, yang ketika satu dibunuh, yang lain langsung menyerbu.
Pengalaman semalaman tidak tidur, maka di hari kedua di kota ini tidak untuk jalan-jalan melihat obyek wisata, tetapi cari hotel yang ‘rapat’. Hotel yang temboknya tidak mudah dimasuki pasukan nyamuk.
Dan, alhamddulillah dapat. Dalam kamar hotel yang mahal dan internasional ini, memang masih ada satu dua nyamuk yang perlu dioperasi. Tetapi jika kelambu sudah diturunkan, nyamuk-nyamuk itu tak ada lagi yang bisa menggigit.
Hanya agar tidur kita bisa nyenyak, bebas dari suara ngang nging, ngang nging, maka kita harus bergerilya, menyemprot nyamuk yang jumlahnya hanya dua tiga itu.
Setelah itu dilakukan, tutup kelambu kayak pengantin baru, dan merdeka…!
Penulis: Djoko Su’ud Sukahar (nasionalisme.co)