BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Ahli bisnis dan ekonomi Syariah berpendapat masalah literasi masyarakat menjadi salah satu faktor penentu, mengapa pasar syariah ‘melempem’ di negara dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia.
“Bahkan, tingkat literasi masyarakat terhadap pasar syariah berada di bawah 10%,” kata Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah Institute Pertanian Bogor (CIEST-IPB) Irfan Syauqi berpendapat.
Mengutip CNNIndonesia.com, dia mengatakan ada dua faktor menurutnya. Selain masalah literasi, rata-rata modal perusahaan bank syariah masih kecil. Terbukti, belum ada bank syariah yang masuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV.
“Rata-rata bank syariah masih kecil, rata-rata BUKU I dan II. Makanya ini harus didorong (permodalannya),” ucap Irfan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/12).
Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun pangsa pasar bank syariah di Indonesia cuma 6,33%hingga Oktober 2020. Angka ini tak bergerak signifikan dibandingkan market share 2017 lalu, yakni 5%.
Otoritas Jasa Keuangan [OJK] mencatat total aset perbankan syariah Rp585,34 triliun per Oktober 2020. Nilainya tidak berbeda jauh dari posisi akhir 2019 yang sebesar Rp538,32 triliun.
Jika dilihat, total aset perbankan syariah dari tahun ke tahun tidak naik signifikan. Rinciannya, akhir 2017 sebesar Rp435,02 triliun. Kemudian, akhir 2018 sebesar Rp489,69 triliun, dan akhir 2019 sebesar Rp538,32 triliun.
Secara keseluruhan, total aset keuangan syariah Indonesia sebesar Rp1.741,87 triliun per Oktober 2020. Aset itu terdiri dari perbankan sebesar Rp585,34 triliun, industri keuangan non bank (IKNB) sebesar Rp112,16 triliun, dan pasar modal sebesar Rp1.044,38 triliun.
Dari data tersebut, bisa disimpulkan bahwa penetrasi keuangan syariah di Indonesia masih rendah. Dengan kata lain, masyarakat yang bertransaksi lewat perbankan syariah masih minim dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Hal tersebut sejalan dengan indeks literasi dan inklusi keuangan syariah yang masih rendah. OJK mencatat indeks literasi keuangan syariah nasional hanya sebesar 8,93% dan indeks inklusi keuangan syariah nasional 9,1%, keduanya masih berada di bawah 10%.
Bank yang masuk kelompok BUKU I, artinya memiliki modal inti maksimal Rp1 triliun. Lalu, modal inti bank BUKU II sebesar Rp1 triliun-Rp5 triliun, BUKU III sebesar Rp5 triliun-Rp30 triliun, dan modal inti bank BUKU IV lebih dari Rp30 triliun.
Menurut Irfan, semakin besar modal inti bank, maka semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk melebarkan sayap bisnisnya. Perusahaan bisa melakukan ekspansi dari segi pelayanan, teknologi, penambahan cabang, hingga karyawan.
Dia menyarankan setidaknya ada satu bank syariah di Indonesia yang masuk dalam kelompok BUKU IV. Pemerintah bisa mengupayakan hal itu melalui Bank Syariah Indonesia (BSI).
BSI adalah perusahaan hasil penggabungan atau merger bank syariah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bank yang digabungkan tersebut, yakni PT Bank BRIsyariah, PT BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri.
Ketiga perusahaan itu telah melakukan penandatanganan akta penggabungan pada pertengahan Desember 2020. Proses merger ditargetkan rampung pada Februari 2021 mendatang.
“Kami berharap bank tersebut segera menjadi bank BUKU IV. Ini berarti modal inti harus minimal Rp30 triliun. Dampaknya dahsyat,” tutur Irfan. (bpc2)