Masyarakat Adat dan pemerintah merupakan 2 komponen tak terpisahkan dalam upaya memperjuangkan penghormatan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, khususnya di Riau. Masyarakat Adat punya hak untuk diakui keberadaannya secara ketentuan perundang-undangan, dan pemerintah punya kewajiban untuk mengakui itu.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Riau punya perjalanan panjang untuk mendapatkan pengakuan negara. Jika hutan menjadi jantung keberlangsungan hidup mereka, maka pengakuan pemerintah kunci agar hak-hak mereka dihormati dan dilindungi.
Sejarah mencatat daratan Bumi Lancang sejak dulu telah dihuni oleh Masyarakat Adat. Seiring berjalannya waktu, mereka yang dulunya menjadi tuan rumah, kian tersisih dan menyebar ke sudut-sudut arah, karena negara lebih dulu membuka ruang pada korporasi demi kepentingan investasi.
Terjadilah tumpang tindih kepemilikan lahan dengan seabrek izin yang dikeluarkan. Saat itu, peluang untuk mendapat pengakuan semakin sempit. Konflik antara Masyarakat Adat dan korporasi kerap terjadi silih berganti.
“Baru beberapa tahun belakangan lah pemerintah membuka ruang untuk pengakuan MHA,” kata Direktur Eksekutif Bahtera Alam Harry Oktavian kepada Bertuahpos.com, Selasa, 6 September 2022, di Hotel Pangeran, Pekanbaru.
Sejak terbitnya MK Nomor: 35 tahun 2012, peluang pengakuan wilayah adat dan Hutan Adat bagi MHA terbuka semakin lebar. Masyarakat Adat yang selama ini hanya diakui secara lisan, lebih punya nilai tawar dalam pembangunan dan pengembangan di wilayahnya.
Dengan terbitnya pengakuan atas wilayah adat dan Hutan Adat, maka masuknya wilayah adat ke dalam rencana tata ruang wilayah—di tingkatan provinsi dan kabupaten—semakin membuka ruang bagi mereka turut mencicip manisnya infrastruktur yang berbasis pada penghormatan dan pengakuan hak-hak mereka.
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor: 14 tahun 2018 itu, bak pelita bahwa pemerintah punya andil besar untuk menghormati hak masyarakat hukum adat, pemerintah punya tanggung jawab—yang dulu sempat terlupakan—untuk mendampingi masyarakat hukum adat dalam mempertahankan hak mereka di tingkat pusat.
“Namun sayang, fakta berbicara lain. Tidak banyak Pemerintah Kabupaten mampu menjawab Perda ini dengan aksi-aksi kolektif di daerah mereka masing-masing,” kata Harry.
Upaya mendorong akselerasi mewujudkan penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat—sebagaimana diamanatkan di dalam peraturan perundangan—tak mampu diimplementasikan secara kolektif oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau.
“Disamping itu, kapasitas antar pihak—mulai dari Masyarakat Adat, pemerintah dan sektor lainnya—tidak mumpuni dalam mendukung penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Padahal peluang untuk pengakuan itu ada,” tambah Harry. “Setidaknya ada 300-an lebih Masyarakat Adat yang menghuni bantaran tanah Riau, dan kami percaya jumlah itu lebih banyak.”
Dalam Seminar dan Lokakarya yang digelar oleh Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) yang didukung oleh Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation menggandeng Bahtera Alam, Masrul Kasmy yang mewakili Gubernur Riau mengatakan, Pemprov punya komitmen untuk terus mengawal dan membantu Masyarakat Adat mendapatkan pengakuan.
Hal ini dibuktikan dengan 2 pengakuan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI yaitu Ghimbo Bonca Lida dan Ghimbo Pomuan Kenegerian Kampa dan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan.
“Saya hari ini risau juga, kami saat ini mengesa identifikasi MHA di Riau dengan membentuk tim yang mana itu saya yang akan mengomandoi. Kita berusaha bagaimana regulasi-regulasi yang banyak ini, pengakuan untuk Masyarakat Adat kita bisa berjalan mudah,” tuturnya.
Dalam Semiloka itu, setidaknya ada 11 perwakilan dari 8 Masyarakat Adat yang tersebar di Riau. Mereka terdiri dari;
- Masyarakat Adat Suku Asli Anak Rawa, Penyengat,
- Masyarakat Adat Suku Sakai Bathin Sebanga, Kesumbo Ampai, Bengkalis,
- Masyarakat Adat Suku Akit, Meranti,
- Masyarakat Adat Suku Talang Mamak Bathin Perigi,
- Masyarakat Adat Suku Talang Mamak Bathin Durian Cacar,
- Masyarakat Adat Kenegerian Tanjung Belit,
- Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan,
- Masyarakat Adat Kenegerian Kampa,
Mereka hanya sebagian kecil dari dari sekian ratus Masyarakat Adat yang hingga kini sama-sama berjuang untuk mendapat pengakuan (selain di poin 7 dan 8). Sejatinya, keberadaan Masyarakat Adat menjadi tameng paling depan untuk menjaga hutan alam warisan nenek moyang.
Seperti Hutan Adat Imbo Putui di Kenegerian Petapahan, dan Hutan Adat Ghimbo Boncah Lida di Kenegerian Kampa yang keduanya sudah mendapat pengakuan secara sah oleh negara melalui SK Nomor: 7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019, dan SK Nomor: 7504/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019.
Kedua Hutan Adat ini memiliki keunggulannya masing-masing. Di Hutan Adat Rimbo Putui misalnya, menjadi pusat pembibitan alami benih kayu kulim. Kalau di Ghimbo Boncah Lidah saat ini masih menyimpan kayu-kayu hutan dengan ukuran besar.
Hal ini menjadi bukti bahwa Masyarakat Adat begitu amanah menjaga warisan hutan untuk anak cucu mereka, punya petuah yang sakral dengan aturan-aturan adatnya, menjadi perisai yang kuat sebagai pengawas dari tangan-tangan jahil.
Semut akan menggigit untuk mempertahankan koloni, daun-daun akan rontok dengan sendirinya jika kulit pohon dikupas, maka Masyarakat Adat akan lenyap jika hutan mereka musnah. Sederhananya, kalau pengakuan Masyarakat Hukum Adat dipercepat, maka satu tugas pemerintah sudah diringankan.
Pada kesempatan ini, Bertuahpos.com merangkum jawaban dari perwakilan Masyarakat Adat di Riau yang merupakan peserta dari kegiatan Semiloka yang digelar YMKL dan Bahtera Alam, atas pertanyaan: Mengapa penting Hutan Adat bagi mereka?
“Jika manusia punya jantung untuk tetap hidup, bagi kami, Hutan Adat itu sama jantung kehidupan Masyarakat Adat. Masyarakat kami sangat bergantung dengan hutan. Hutan adalah mata pencaharian kami, hutan adalah kehidupan kami. Kalau kami sakit obatnya ada di hutan.”
SUWARDINO – Masyarakat Adat dari Suku Sakai Bathin Sebanga, Bengkalis.
“Sebetulnya, Masyarakat Adat itu tak lepas dari hutan dan sungai. Jernihnya air sungai dan rimbunnya hutan menandakan bahwa Masyarakat Adat masih ada di sana. Jika hutan dan sungai hilang, maka kami juga hilang. Karena seluruh keperluan sehari-hari kami sangat bergantung dari alam (Hutan dan Sungai). Kenapa Masyarakat Adat sekarang ke Puskesmas kalau mereka sakit? Karena kebutuhan obat kami di hutang sudah hilang. mau tak mau kami ke Puskesmas. Dulu, kalau hanya sakit perut, kami tak perlu ke apotek. Cukup ke hutan. Sama halnya dengan sumber ekonomi lainnya, semuanya ada di hutan dan sungai.”
SAPRUL – Masyarakat Adat dari Kenegerian Petapahan, Kampar
“Hutan itu merupakan suatu tanda. Adanya hutan adalah tanda adanya Masyarakat Adat. Hutan menjadi bagian dari sistem keberlangsung hidup bagi kami. Kedepannya, kita tidak pernah tahu bagaimana sumber daya hutan. Kami akan terus menjaga hutan untuk anak cucu kami ke depan. Supaya mereka bisa tetap hidup dan merasakan begitu bersahabatnya hutan bagi manusia.”
DEFRI – Masyarakat Adat dari Kenegerian Tanjung Belit, Kampar.
“Jika kami punya hak untuk mendapat penghormatan dan perlindungan dari negara, maka tujuan pemerintah untuk melestarikan hutan masih terbuka lebar. Kami sangat paham menjaga hutan. Tapi kami butuh pengakuan pemerintah untuk menjalankan tugas ini.”
ANTON – Masyarakat Adat dari Suku Anak Rawa, Kampung Penyengat.
“Hutan bukan hanya untuk Masyarakat Adat. Tapi hutan perlu ada untuk kehidupan umat manusia. Hutan itu paru-paru dunia. Jika negara tidak memberi kewenangan kepada masyarakat, maka rusaklah paru dunia. Saat ini kami punya 157 hektare Hutan Adat, namun sudah dikelilingi kebun sawit. Hutan sama halnya dengan manusia, jika kekurangan air pohon-pohon akan kering dan tumbang. Selagi Masyarakat Adat punya generasi, selama itu pula Hutan Adat akan tetap berdiri. Hutan yang kami punya adalah hutan warisan.”
GUSPERI – Masyarakat Adat dari Kenegerian Kampa, Kampar.
“Apa yang dibutuhkan Masyarakat Adat sudah sangat cukup dari apa yang tersedia di hutan. Bagi kami, hutan banyak mengajarkan tentang ekonomi, sosial, budaya. Hutan bukan sebatas onggokan pohon-pohon yang tumbuh, melainkan saksi sejarah atas peradaban yang pernah ada. Saat ini, pemerintah kami di daerah tengah berjuang, bagaimana keberadaan Hutan Adat bisa mendapat hak perhormatan dan perlindungan. Kami akan selalu mendukung upaya itu.”
SUPARJO – Masyarakat Adat dari Suku Akit, Kepulauan Meranti.