BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Penetapan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) di Riau punya polemik panjang. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mencatat beberpa kejanggalan dalam upaya penyelesaian RTRW Riau.
Bentuk kejanggalan itu bisa dilihat dari wacana awal Tim Pansus DPRD Riau menginginkan pemutihan lahan seluas 497 ribu hektare lahan, seharunya ini sudah mengakomodir pemutihan 142 desa yang sebelumnya direncanakan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan.Â
“Tapi setelah kami menangkap analisis dari Kementerian LHK tidak seperti itu. Pemutihan 497 ribu hektare dan 142 desa itu, masing-masing berbeda. Padahal hanya 0,55% saja kawasan pemukiman. Artinya ada lahan berlebih jika diukur dari jumlah lahan yang diusulkan. Lahan berlebih itu apa?” kata Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, Jumat (4/8/2017).Â
Selain itu Jikalahari juga merilis data, selain pemukiman yang hanya 0,55%, luas perkebunan sawit hanya 37%, 43% di antaranya kebun campuran dan 8,32% adalah lahan terbuka dan sawah.Â
“Sedikit agak sulit kami terima kalau 142 desa itu murni kawasan penduduk. Karena sebenarnya lebih sedikit dari jumlah itu. Artinya sisa lahannya apa?,” tambahnya.Â
Baca:Â Rawan Korupsi, DPRD Riau Dituding Tidak Transparan dalam Pembahasan Ranperda RTRW
Kejanggalan kedua, menurut Okto, tidak disahkannya RTRW dianggap sebagai faktor penghambat pelaksanaan proyek strategis nasional. Alasan ini juga dianggap keliru, sebab sejak awal Mentri LHK menyebutkan, bahwa proyek strategis nasional itu bisa dilaksanakan dengan cara pinjam pakai.Â
“Ini memang persoalan yang rumit. Kami mencatat ada polemik panjang dalam penetapan RTRW ini. Memang sejak dulu sekali, tidak pernah melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan rencana RTRW tersebut. Ini juga menjadi sesuatu yang mengganjal, sehingga terkesan tidak adanya transparansi dari DPRD Riau sendiri,” tambahnya.
Jikalahari mendesak DPRD Riau agar hentikan pembahasan Ranperda RTRW Riau, sebab jika tidak juga mencatat ada beberapa persoalan akan muncul dan dengan sendirinya akan mengkriminalisasi masyarakat yang terlibat dalam masalah ini.Â
Persoalan pertama, kata Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, akan ada pidana bagi masyarakat adat tempatan. Dengan kata lain DPRD sama saja mengkriminalisasi mereka.Â
Kedua, pembahasan Ranperda RTRW itu tidak transparan dan mengabaikan publik. Sebab hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak terhadap masalah itu.Â
Dia menambahkan, kasus Anas Maamun, Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut bukti proses pembahasan RTRW tidak transparan karena perilaku korupsi.Â
Ketiga, Jikalahari melihat Ranperda RTRW Riau yang jadi projek DPRD itu, tidak mengakomodir Perhutanan Sosial atau Tanah Objek Reformasi Agraria.
“Seharusnya draf itu bisa mengakomodir kebijakan pada tujuan pemerataan ekonomi untuk meminimalisir ketimpangan sosial,” tambahnya.Â
Selanjutnya, draf RTRW itu dianggap tidak mengakomodir perubahan fungsi pengelolaan hutan serta penetapan kawasan lindung dan pengelolaan wilayah pesisir. Termasuk pulau-pulau kecil.Â
“Selain itu kami juga merekomendasikan beberapa poin penting lainnya, di antaranya, Gubri harus melibatkan masyarakat adat dan tempatan dalam penyusunan draf itu,” tambahnya. (bpc3)