BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Kepala Biro Ekonomi Pemerintah Provinsi Riau, Syafrial mengatakan bahwa dengan kondisi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang selama ini tidak pernah mau terbuka untuk melaporkan keuangannya secara rinci, membuat Pemerintah Provinsi Riau kewalahan untuk mengetahui progres pertumbuhan perusahaan plat merah itu.
“Kami kesulitan juga jadinya, karena data tidak langkap, sejauh ini tidak ada perkembangan ditubuh BUMD Riau sendiri. Paling beberapa saja yang terlihat,” katanya.
Misalnya saja saat ditanya soal rincian gaji untuk para jajaran direktur ditubuh perusahaan milik pemerintah itu. Biro Ekonomi Pemprov Riau sendiri tidak punya data pasti berapa seharusnya para pimpinan menerima imbalan kerjanya setiap bulah. Padahal, untuk gaji, setingkat jajaran direktur dan direksi sudah diatur dalam peraturan gubernur.
“Kalau gajinya bervariasi, tergantung dari BUMD-nya masing-masing. Nah, ke kita mereka tidak laporkan rinci soal gaji dalam laporan keuangannya. Mereka hanya merangkum secara keseluruhan, misalnya belanja pegawai berapa. Yang punya data itu BUMD-lah,” ujarnya.
Untuk penetapan gaji pejabat yang memegang kendali perusahaan itu, pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007. Sementara besaran gaji yang diterima setingkat direktur dan direksi itu berdasarkan Pergub nomor 31 tahun 2011, dengan salah satu indikatornya adalah pendapatan atau keuntungan perusahaan itu. “Dalam pergub juga tidak disebutkan angkanya berapa,” kata Syafrial.
Misalnya saja di PT Pembangunan Ekonomi Rakyat (PER). Dia mengakui bahwa selama ini direktur dan jajaran direksi perusahaan itu diakui memang tidak rasional. “Baru sekarang ini saja dirasionalisasikan. Dulu mana ada,” ujarnya.
Setelah dilakukan rasionalisasi, usulan gaji setingkat direktur di perusahaan itu sebesar Rp 25 juta sampai Rp 30 juta perbulannya. “Selama ini gaji mereka tidak rasional,” kata Syaftial. Sesuai ketetapannya, gaji setingkat komisaris lebih kurang 35 persen dari gaji dirut. Artinya, jika gaji sekelas dirut sebesar Rp 30 juta maka untuk komisari sebesar Rp 10.500.000 perbulannya.
Sementara untuk pejabat yang berada di bawah dirut, ketetapannya 90 persen dari gaji dirut. “Masalahnya dalam pergub itu juga tidak disebutkan angkanya. Jadi kami tidak tahu,” sambungnya.
Hitung-hitungan gaji itu, hanya untuk satu perusahaan BUMD saja. Itupun, kata Syafrial setelah dilakukan rasionalisasi. Sementara BUMD yang lain, Pemerintah Provinsi Riau, diakui Syafrial, bahwa pihaknya tidak pernah tahu.
Selain PT PER, banyak perusahaan BUMD lain yang tidak bisa diandalkan untuk pemasukan keuangan pemerintah. Tahun 2014, dari Rp 2,1 miliar penyertaan modal pemerintah, perusahaan itu hanya bisa memberikan keuntungan sebesar Rp 700 juta.
Berbeda dengan kepemilikan saham Pemprov Riau di beberapa perusahaan daerah lain, misalnya saja PT BSP, meski kepemilikan saham Pemprov Riau sedikit di perusahaan itu, tahun 2014 saja keuntungan yang diperoleh Pemprov Riau sebesar Rp 46 miliar, sementara PT Jamkrida hanya Rp 554 juta.
Secara umum, sejak tahun 2002, dari Rp 904 miliar penyertaan modal Pemprov Riau untuk 7 BUMD milik pemerintah, sampai 2015 lalu, total devidena yang diperoleh kurang lebih Rp 1,320 triliun. Tentusaha angka ini sedikit, sebab hanya selisih beberapa persen dari modal yang sudah dikelurkan oleh Pemprov Riau. Padahal rentang waktu kehadiran perusahaan plat merah itu sudah cukup lama, lebih dari 10 tahu.
Upaya penataan ulang sistem dalam tubuh BUMD baru mau dilakukan sekarang. Setelah 2 perusahaan BUMD Riau dinyatakan sakit, dan tidak lagi memberi keuntungan. Yakni PT Riau Air Line (RAL) dan PT Riau Pertolium. Dari 7 BUMD Riau, hanya tinggal 5 yang betul-betul bisa dikelola. Sementara Pemerintah Provinsi Riau masih mengandalkan Bank Riau Kepri, sebagai penyumbang pemasukan terbesar untuk Pemerintah Provinsi Riau. (Melba)