Oleh: Dr. Musnar Indra Daulay, M.Pd*
Peristiwa G30S, sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada 30 September sampai awal bulan — 1 Oktober 1965.
Ketika satu perwira pertama dan enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu kudeta sekaligus.
Jenderal TNI AH Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Namun Ade Irma Suryani, bungsu AH Nasution jadi ‘tumbal’.
“Papa,… Ade salah apa? kenapa Ade ditembak?” kata Ade lirih dalam dekapan ibunya.
Ade menjadi perisai sang ayah, saat sejumlah tentara pasukan Cakrabirawa — pasukan pengawal presiden bentukan Soekarno atas usulan AH Nasution — menyerbu rumah Nasution di Menteng Jakarta Pusat.
Ade Irma yang lahir 19 Februari 1960 itu terkena peluru nyasar yang dilesakkan pasukan Cakrabirawa, saat memberondong rumah AH Nasution.
Sempat dibawa ke rumah sakit, nyawa Ade tak tertolong. Abdul Haris Nasution jelas terpukul. Setidaknya dia kehilangan putri bungsunya yang baru beranjak 5 tahun.
Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului, gugur sebagai perisai ayahmu — pesan haru sang Jenderal yang terukir di makam Ade.
Usai peristiwa G30S/PKI, Jenderal A.H Nasution move on bekerja sama dengan Pangkostrad Soeharto menumpas habis pimpinan dan pengikut PKI.
Nasution merupakan tokoh AD yang sangat menentang usulan PKI mempersenjatai buruh dan tani.
Beliau juga yang memimpin sidang istimewa MPRS yang melengserkan Ir Soekarno dari jabatannya sebagai presiden pada tahun 1967 sekaligus mengangkat Soeharto sebagai Presiden Indonesia kedua.
Namun duduknya Soeharto di kursi Presiden justru membuat hubungannya keduanya memburuk. Soeharto membubarkan MPRS pimpinan Nasution pada 1972.
Sewaktu Nasution membuat buku kesan-kesan selama di MPRS, Soeharto memerintahkan aparatnya membakar buku-buku itu beserta gudangnya.
Gerak-gerik Nasution terus diawasi dan dibatasi aparat. Selain khutbah Jumat, Kopkamtib juga melarang Nasution pidato di kampus-kampus.
Menurut keterangan beberapa mahasiswa, mereka selalu dipersulit jika mengundang Pak Nas jadi narasumber. Lebih jauh, Kopkamtib melarang media massa memuat tulisan-tulisan Pak Nas,
Kesulitan Pak Nas kian bertambah setelah dia bergabung ke dalam kelompok Petisi 50.
Kelompok berisi politisi senior dan purnawirawan jenderal yang mengevaluasi pemerintahan Orde Baru karena dianggap telah melenceng lewat tafsir sepihak atas Pancasila-nya.
Kopkamtib langsung mencabut hak politik anggota Petisi 50 dan mencekal (cegah dan tangkal) mereka.
Di rumah, Pak Nas harus membuat sumur sendiri akibat aliran air ledengnya disabotase.
Dia juga dilarang tampil di depan publik atau menghadiri acara-acara kenegaraan dan acara-acara yang dihadiri petinggi pemerintahan.
Pernah juga Pak Nas didorong keluar oleh Paspampres (pengganti Cakrabirawa), ketika ikut menyolatkan jenazah Adam Malik (Wakil Presiden kedua Orde Baru).
Alasannya, dia menghalangi jalan Wapres Umar Wirahadikusuma (ajudan Nasution semasa revolusi), ke rumah duka.
Dalam hati, Pak Nas pun menilai, tuduhan penguasa pada penandatangan Petisi 50 persis dengan tuduhan PKI terhadap dirinya dan pimpinan Angkatan Darat semasa Demokrasi Terpimpin. Lantas apakah Pak Nas benci kepada Soeharto?. Tidak!
Nasution memakai seragam kebesaran dengan bintang lima di pundaknya bersama Jenderal Besar Soeharto.
Dalam peringatan hari ABRI ke-52. Keduanya terlihat akrab, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Sekali lagi, Pak Nas menunjukkan kebesaran hatinya melebihi kebesaran bintang lima dipundaknya.
Gaya hidup bersahaja ini dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai tutup usia. Pak Nas menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000).
Persis di bulan yang sama, saat ia masuk daftar hitam PKI. Ia tak mewariskan kekayaan materi.
Kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme, dan Tuhan memberkati ia dengan umur panjang, 82 tahun.
Pak Nas lebih memilih jadi jenderal idealis dan taat beribadat. Dia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah — mengenai peristiwa G30S dan hati nuraninya.***
*Penulis adalah dosen pada Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai Kampar