BERTUAHPOS.COM, ( BPC) LIMAPULUH KOTA – Coba rasakan, satu hari saja tanpa sinyal handphone dan listrik. Apa yang akan terjadi ? Pasti cacian, makian dan umpatan terlontar spontan kepada PLN dan penyedia sinyal Telekomunikasi. Sah-sah saja, karena listrik dan sinyal dizaman modern ini merupakan detak jantung kehidupan. Satu detik saja jantung berhenti berdenyut, resikonya kematian. Satu hari listrik mati, sinyal putus, Triliunan rupiah kerugian diderita.
Tidak demikian dengan 2.700 jiwa masyarakat Nagari Galuguah dan Jorong Sungai Nyanyiang, Nagari Koto Lamo, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Mereka tidak akan mencaci, mengupat atau mencela. Karena bagi mereka, sinyal dan aliran listrik hanya bak mimpi disiang bolong. Jangan pula khawatir, 2.700 jiwa di dua Nagari itu, tidak akan tahu KPK melakukan aksi tangkap tangan terhadap Anggota DPR RI. Tidak akan tahu Presiden Joko widodo menandatangani prasasti Jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Dan tidak akan tahu fenomena artis Indonesia kawin dan cerai. Wajar, karena nyaris dalam satu minggu ribuan penduduk itu tidak menyaksikan siaran TV.
Bila siang cahaya matahari menjadi penerang. Ketika malam tiba, hanya lampu Cogok (lampu sumbu kain, terbuat dari kaleng bekas pestisida atau botol bekas minuman yang hidup karena Minyak Tanah), jadi penuntun dari kegelapan. Di dua nagari itu, tidak akan tampak orang ngobrol, tertawa cecekikan, atau senyum-senyum sendiri. Karena negeri mereka tidak ada sinyal handphone.
Meski sudah 7 orang presiden Indonesia sejak Merdeka. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibi, Gusdur, Megawati, SBY hingga 1 tahun Jokowi Dodo. Dan berkali-kali Gubernur Sumbar, Bupati Limapuluh Kota berganti, tetapi mereka tetap menyandang status sebagai daerah terisolir. Jalan darat sepanjang 24 kilometer dari ibu kota Kecamatan Kapur IX menuju Nagari Galuguah, membelah bebukitan dengan kiri kanan kebun Karet, Gambir dan semak belukar, hingga dilantiknya Bupati Limapuluh Kota Ir. Irfendi Arbi-Ferizal Ridwan di Kantor Gubernur Sumbar Rabu (17/02/2016) pagi, masih berlumpur.
Berkali-kali masuk dalam Musyawarah Rencana Kerja dan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Nagari, Kecamatan, Kabupaten hingga Propinsi. Tapi tetap belum menjadi prioritas atau perhatian utama Pemerintah. Padahal jalan tanah itu berstatus milik Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, karena menghubungkan Limapuluh Koto dengan Kabupaten Pasaman serta berbatasan lansung dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar, Propinsi Riau.
Kini jalan itu hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat dobel gardan. Bisa dibayangkan, berapa harga sayur satu ikat di negeri itu, atau harga beras, minyak makan, Minyak Tanah, Cabe, Bahan Bangunan berupa Semen, Besi, Batu Bata atau Batako. Dan berapa ongkos trasportasi yang petani keluarkan untuk membawa hasil komoditi bumi mereka seperti Karet, Gambir dan Padi. Lalu bagaimana bila mereka mengalami sakit ?.
Bayangkan, dinegeri Galuguah itu hanya ada tiga bidan dengan tiga Puskesri, yang kadang aktivitasnya numpang dirumah kayu milik warga. Parahnya, Puskesri kebanggan warga Galuguah itu Minggu-Senin (7-8/02/2016) lalu luluh lantak, hancur diterjang air bah akibat luapan Batang Kampar. Kaca Puskesri pecah, obat-obatan dan alat medis hancur dan lenyap disapu air. Tidak ada yang bisa dilakukan Bidan ataupun perawat, tanpa obat dan peralatan medis.
Belum lagi bicara pendidikan, di Nagari Galuguah ada 3 TK, 4 Sekolah Dasar Negeri, satu SMP, sedangkan tingkat SMA anak-anak Galuguah harus menginap di ibu kota Kecamatan Kapur IX bila ingin sekolah. Sebab, tidak ada transportasi seperti angkot, apalagi metro mini ataupun Bas Way. Parahnya, guru-guru yang mengajar di TK, SD, dan SMP, kebanyakan bukan warga asli Nagari Galuguah. Satu kali seminggu, Guru harus pulang balik dari Ibu Kota Kecamatan Kapur IX menuju Galugauh untuk mencerdaskan anak-anak Galuguah. Jalan belumpur dengan geografis perbukitan, kiri kanan hutan dan kebun Karet, tanah liat berlumpur, hanya bisa dilewati motor dan mobil dabel gardan, itulah penderitaan Guru diderah terpencil.
 “Memang 2700 Jiwa warga di Nagari Galuguah dan Jorong Nyanyiang, Nagari Koto Lamo, masih belum menikmati sinyal dan listrik. Akses jalan dari Kecamatan menuju Galuguah sepanjang 24 KM masih tanah. Bila hujan, berlumpur, dan hanya bisa dilewati motor serta mobil dua gardan. Tentu semuanya serba mahal, mulai dari Sembako, bahan bangunan. Begitu juga dengan fasilitas kesehatan, bila ada warga yang sakit atau mau melahirkan, harus menempuh jalan tanah,” cerita Camat Kapur IX, Alfian, Rabu (17/02/2016).
Nyatalah, kalau mereka belum “merdeka” untuk bisa menikmati fasilitas yang didapat oleh warga Indonesia kebanyakan seperti listrik dan sinyal yang menjadi urat nadinya kehidupan. Meski hingga saat ini Indonesia sudah 70 th merdeka. Tapi, bagi mereka baru sebatas merdeka dari penjajahan, belum sepenuhnya “merdeka” dari menikmati fasilitas pembangunan.
Penulis : Khatik