BERTUAHPOS.COM — Selama ini, masyarakat Riau tidak disuguhkan dengan kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang benar-benar transparan. Oleh sebab itu, saat Pemprov Riau dihadapkan pada masalah defisit — dalam jumlah yang besar — sama gaduhnya dengan isu korupsi di pemerintahan.
Menurut pengamat kebijakan anggaran, Triono Hadi, salah satu pertanyaan besar masyarakat saat ini, bagaimana defisit APBD Riau 2025 bisa menyentuh sebesar Rp2,2 triliun? Dan bagaimana itu bisa terjadi?.
Jika merujuk data real-time Kementerian Keuangan hingga Oktober 2024, keuangan daerah kita masih stabil. Bahkan surplus. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) 2023 sebesar Rp574,7 miliar. “Namun, kini justru muncul informasi adanya defisit dan tunda bayar yang sangat besar,” ,” katanya kepada Bertuahpos, Selasa, 18 Maret 2025.
Menurutnya, bagaimana keuangan daerah dikenalikan, kontrol ketat kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam realisasi anggaran, langkah pengawasan, seharusnya berjalan sesuai regulasi dan disampaikan secara gamblang ke publik.
Berdasarkan informasi yang beredar, dari Rp915 miliar tunda bayar di 34 OPD, sebanyak Rp857 miliar terdapat di enam OPD utama, yaitu Dinas PUPR, Pendidikan, Kesehatan, Rumah Sakit, BPKAD, dan Sekretariat Daerah. Sementara Rp58,9 miliar lainnya tersebar di 28 OPD lain.
“Sebagai contoh, Sekretariat Daerah memiliki tunda bayar Rp72,7 miliar. Namun, tidak ada penjelasan apakah dana tersebut digunakan untuk belanja barang, gaji pegawai, atau kegiatan lainnya,” jelasnya.
Minimnya Informasi Realisasi APBD 2024
Triono Hadi menggarisbawahi, bahwa salah satu faktor utama yang membuat defisit APBD Riau, ketiadaan informasi resmi mengenai realisasi APBD 2024. Pemprov Riau menyatakan terdapat pengeluaran Rp2,2 triliun pada 2024 yang belum dibayar atau disebut tunda bayar.
“Tapi, publik tidak diberikan rincian jenis belanja yang tertunda—apakah belanja modal, pegawai, barang dan jasa, atau lainnya. Informasinya sangat minim,” jelasnya.
Ada pula informasi bahwa tunda bayar untuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mencapai Rp915 miliar. Namun, menurutnya, data ini belum dipublikasikan secara resmi oleh pemerintah. Publik pun bertanya-tanya, apakah anggaran tersebut digunakan untuk kegiatan mendesak meskipun tanpa ketersediaan dana?
Selain itu, belum ada kejelasan mengenai realisasi pendapatan daerah Riau hingga akhir 2024. Padahal, dalam Perubahan APBD 2024 yang ditetapkan 16 Oktober 2024, pendapatan daerah ditargetkan Rp11,12 triliun, naik Rp1,05 triliun dari APBD murni Rp10,06 triliun. Sementara belanja daerah ditetapkan Rp11,19 triliun, atau naik Rp170 miliar dari APBD murni.
“Hingga kini, belum diketahui berapa realisasi pendapatan daerah dan pengeluaran yang sudah dibayarkan maupun yang belum. Informasi sementara ini seharusnya sudah bisa diumumkan, meski audit resmi belum dilakukan,” jelasnya.
Dampak dan Langkah yang Harus Diambil
Menurut Triono, minimnya transparansi mengenai defisit APBD berdampak pada kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika informasi yang diberikan tidak jelas, masyarakat sulit percaya begitu saja. Selain itu, kebingungan Gubernur dalam mengambil langkah juga bisa dipahami, karena data yang tersedia tidak cukup terang.
“Sebagai pemimpin baru, Gubernur Riau perlu menelusuri secara menyeluruh penyebab defisit dan tunda bayar ini. Evaluasi terhadap OPD yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan, seperti BPKAD, Bappenda, Bappeda, dan OPD terkait lainnya, harus dilakukan untuk memastikan stabilitas keuangan daerah ke depan,” kata mantan Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau itu.
Sehingga, kata dia, komitmen Gubernur Riau, Abdul Wahid, dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan dan keuangan harus dibuktikan dengan transparansi penuh. Publik berhak mendapatkan informasi yang utuh, terutama mengenai kondisi keuangan daerah. Keterbukaan adalah kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Wagub Riau Ungkap Penyebab Defisit APBD Rp2,2 Triliun
Wakil Gubernur Riau, SF Hariyanto, mengungkapkan defisit APBD 2025 sebesar Rp2,2 triliun disebabkan oleh beberapa faktor utama. Seperti; Penurunan pendapatan dari Participating Interest (PI) Blok Rokan, belum cairnya Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat, serta tidak tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menjadi penyebab utama ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran daerah.
“Pada 2023, kita memproyeksikan penerimaan Rp1,6 triliun dari PI Blok Rokan. Namun, pada 2024, realisasi yang diterima hanya sekitar Rp200 miliar. Penurunan ini berdampak signifikan terhadap belanja daerah,” ujar SF Hariyanto di Pekanbaru, Senin, 17 Maret 2025.
Menurutnya, PT PHR saat ini tengah berupaya meningkatkan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari. Namun, proses ini membutuhkan investasi besar, sehingga dividen yang seharusnya masuk ke kas daerah lebih banyak dialokasikan untuk operasional dan pengembangan produksi.
Selain itu, belum diterimanya DBH dari pemerintah pusat juga memperburuk kondisi keuangan daerah. “Jika dana ini masuk tepat waktu, defisit bisa tertutupi. Namun, hingga kini dana tersebut belum diterima,” ungkapnya.
Faktor lain yang turut berkontribusi terhadap defisit adalah tidak tercapainya target PAD dari sektor pajak kendaraan. “Realisasi pajak kendaraan tahun 2024 hanya mencapai sekitar 80 persen dari target, meskipun berbagai upaya optimalisasi telah dilakukan,” tambahnya.
Meski menghadapi tantangan berat, SF Hariyanto menegaskan bahwa Pemprov Riau akan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi defisit ini.
Beberapa solusi yang dirancang antara lain efisiensi anggaran dengan memangkas program yang tidak mendesak serta mengalihkan anggaran ke sektor yang lebih prioritas dan berdampak langsung bagi masyarakat.
“Saya yakin dengan kepemimpinan Pak Gubernur, masalah ini bisa diselesaikan dengan baik. Kita akan mencari formulasi terbaik agar keuangan daerah tetap stabil dan pembangunan tetap berjalan,” kata SF Hariyanto..***